Selain itu, ia mengungkapkan industri dalam negeri tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi lantaran kebutuhan minyak goreng yang bermasalah.
Dirinya mengatakan hanya sekitar 10 persen atau sekira 5,7 juta ton pertahun dibanding hasil total produksi yang mencapai 47 juta ton pertahun untuk CPO.
Serta sekitar 4,5 juta ton pertahun untuk Palm Kernel Oil (PKO).
Sehingga, katanya, jauh lebih baik jika langkah pertama yang dilakukan adalah mengembalikan kebijakan Domestic Price Obligation (DPO) dan Domestic Market Obligation (DMO).
Lebih lanjut, Deddy meminta pemerintah memastikan barangnya tersedia dan diawasi dengan baik serta penguatan dalam pengawasan.
“Tanpa sinergi yang antara kegiatan pengawasan, pencegahan dan penegakan hukum, masalah kelangkaan dan harga produk yang tinggi tidak akan pernah bisa selesai.”
“Ingat, moratorium itu akan meicu kegiatan penyelundupan sebab barang akan langka dan harganya melonjak di luar negeri,” tutur Deddy.
“Kalau perlu dikuasai oleh negara, termasuk distribusinya,” imbuhnya.
Kemudian, Deddy menjelaskan kemungkinan adanya protes dari negara-negara lain lantaran kebijakan ini.
Baca juga: Ketua DPD RI Ajak Masyarakat Kawal Proses Hukum Mafia Minyak Goreng
Ia menyebut adanya kemungkinan pemerintah harus menghadapi tekanan perdagangan internasional lantaran CPO dan turunannya untuk saat ini telah menjadi komoditas global yang penting.
“Moratorium ini bisa menjadikan konsekuensi terjadi keberatan dari negara-negara lain. Karena barang ini adalah komoditas global.”
“Jadi mohon diperhatikan Bapak Presiden, mohon kembalikan kebijakannya ke jalur yang benar,” pungkasnya.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Fransiskus Adhiyuda Prasetia)(Kompas.com/Akhdi Martin Pratama)
Artikel lain terkait Minyak Goreng