Laporan Wartawan Tribunnews, Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Selain menerima dana dari investor, perusahaan digital juga melakukan investasi. Diantaranya seperti dilakukan Bukalapak yang berinvestasi di Allo Bank, Gojek dan Grab yang berinvestasi di LinkAja, atau Akulaku yang membeli saham Bank Neo.
Saham yang dibeli oleh perusahaan digital tersebut terbilang tidak terlalu besar, namun mereka tetap tertarik untuk berinvestasi di perusahaan yang sudah berjalan baik.
Investasi yang dilakukan oleh perusahaan digital menurut Yoris Sebastian, founder OMG Creative Consulting, merupakan hal yang biasa dilakukan oleh perusahaan digital, baik yang ada di dalam negeri maupun di luar.
Jika dahulu eranya satu perusahaan dipegang secara besar atau mayoritas, namun kini eranya kepemilikan saham di satu perusahaan jumlahnya kecil dan dipegang oleh banyak investor.
Investasi yang dilakukan oleh perusahaan digital tersebut mencontoh Google yang berinvestasi di berbagai perusahaan yang sudah berjalan. Yoris memperkirakan tujuan dari perusahaan digital tersebut untuk melakukan investasi di perusahaan lain adalah untuk menguasai pasar dan membuat ekosistem digital yang lebih besar dan kuat.
Baca juga: Gara-Gara Cuitan di Twitter, Elon Musk Kehilangan Kekayaan hingga 12 Miliar Dolar AS dalam Sehari
"Biasanya pemilik dari perusahaan yang diakusisi dijadikan komisaris. Seperti Tokopedia yang mengakusisi Bridestory dan Parentstory. Pendiri tetap menjadi pemegang saham minoritas bersama dengan pemegang saham minoritas lainnya. Namun investor tetap mempercayakan jalannya perusahaan kepada pendirinya. Investor membeli karena founder-nya, bukan idenya semata. Investor tersebut tetap membutuhkan foundernya untuk membesarkan perusahaannya," ujar Yoris, Sabtu (21/5/2022).
Baca juga: Instagram Uji Coba Fitur Template, Bisa Salin Format Video di Reels
Langkah perusahaan digital yang membeli beberapa saham perusahaan dinilai Yoris sebagai salah satu langkah coopetition (bekerjasama), bukan competition (bersaing satu dengan yang lainnya).
Banyak perusahaan digital global saat ini melakukan coopetition dibandingkan competition, sehingga tujuan lain dari akusisi ini adalah menguragi perang harga yang tidak sehat. Hal ini menciptakan ekosistem yang lebih sehat dan besar.
Baca juga: Chat Filters, Fitur Baru di Whatsapp yang Bisa Saring Pesan Masuk Hingga 4 Kategori
"Semakin besar potensi perusahaan tersebut tumbuh dan foundernya memiliki visi yang bagus, maka akan banyak pemegang saham yang memegang saham perusahaan tersebut. Masuk di jumlah saham yang kecil dirasa sebagian investor cukup untuk membuat ekosistem dan mengurangi competition. Sehingga yang diincar adalah strategic business dari perusahaan yang dibeli," ujarnya.
Dia mengatakan, perusahaan investasi milik Pemerintah Singapura melakukan akuisisi perusahaan rintisan di Silicon Valley. Perusahaan dan pendirinya yang diambil tidak dikenal sama sekali. Namun karena idenya bagus, mereka masuk sebagai angel capital di perusahaan startup tersebut dengan kepemilikan saham 7 persen.
Baca juga: Facebook dan Instagram Buka Lagi Tagar Invasi Rusia ke Ukraina yang Diblokir
Startup yang dibiayai tersebut ketika ingin mengembangkan usahanya di Asia, harus membuka kantor dan membayar pajak di Singapura.
"Lihat Astra dan Telkomsel yang masuk ke Gojek. Industri film Korea juga membeli saham jaringan bioskop terbesar di Indonesia. Saat ini investor melakukan investasi melihat strategic business dari perusahaan digital tersebut di masa depan dan potensi kolaborasi yang bisa dibentuk. Jadi jangan hanya lihat jumlah saham yang kecil," terang Yoris.
Meski industri capital market global dan Indonesia tengah mengalami tekanan akibat kenaikan suku bunga FED, Yoris melihat peluang perusahaan teknologi di Indonesia masih terbuka sangat luas. Yoris mengakui saat ini angel investor yang akan masuk ke perusahaan digital jauh lebih berhati-hati dengan melihat rencana bisnisnya.
"Mereka akan menghindari perusahaan rintisan yang masih membakar uang. Saat ini angel investor banyak mencari perusahaan yang memiliki rencana bisnis jelas," kata dia.
Agar mencapai keuntungan maksimal, dia mengatakan investasi atau akuisisi saham yang dilakukan oleh perusahaan digital tersebut harus memiliki visi investasi jangka panjang, bukan best short term investment.
"Coba anda lihat BCA dan Astra yang masuk ke perusahaan startup. Apakah mereka sekarang keluar? Bahkan Group Djarum sampai saat ini masih menjadi pemegang saham pengendali dan tak akan mau melepaskan BCA, karena mereka melihat perusahaan yang mereka invest memiliki potensi bisnis di masa mendatang," ujarnya.
"Mereka melihat investasi selalu dalam jangka panjang, bukan mencari keuntungan sesaat. Kalau mereka keluar dari perusahaan tersebut berarti potensi bisnisnya sudah tak ada," kata dia.