News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Ini Sejumlah Faktor Penyebab Rupiah Melemah Jadi Rp 14.668 Per Dolar AS

Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Muhammad Zulfikar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ini Sejumlah Faktor Penyebab Rupiah Melemah Jadi Rp 14.668 Per Dolar AS

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan tengah hari ini, Senin (23/5/2022) mengalami tekanan di level Rp 14.668 per dolar AS. 

Ini membuat rupiah melemah 0,18 persen dibanding penutupan Jumat (20/5) di Rp 14.642 per dolar AS, sehingga rupiah menjadi mata uang dengan pelemahan terbesar di Asia.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah tersebut dipengaruhi beberapa faktor.

Baca juga: Rupiah Anjlok ke Level Rp 14.668 Per Dolar AS, Jadi yang Terlemah di Asia

Pertama, rapat The Federal Open Market Committee (FOMC) pada Mei 2022, Federal Reserve memutuskan untuk menaikkan Fed Fund Rates sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 1persen dan Fed akan mulai mengurangi neraca keuangannya (balance sheet reduction) pada bulan Juni mendatang. 

"Namun setelah rapat FOMC tersebut, (Gubernur The Fed) Jerome Powell dan pejabat Fed lainnya memberikan sinyal hawkish pada market, karena Fed memberi sinyal akan terus menaikkan suku bunga FFR dalam rangka menekan inflasi yang masih tinggi di US akibat kenaikan harga komoditas global yang dipicu berlanjutnya perang Russia-Ukraine," kata Josua saat dihubungi, Senin (23/5/2022).

Menurutnya, sinyal hawkish atau kemungkinan akan dinaikkan suku bunga The Fed tersebut telah mendorong penguatan dolar AS yang mengerek kenaikan yield UST dan mendorong koreksi pasar saham maupun obligasi global.

Ilustrasi Uang Rupiah. (Kontan.co.id)

Faktor kedua, kata Josua, pemerintah China yang mengambil kebijakan zero Covid-19, memutuskan untuk melakukan lock down di Shanghai dan beberapa kota lainnya di China.

Kebijakan tersebut, di nilai telah berdampak negatif pada perekonomian China. 

Hal ini terindikasi dari data retail sales dan industrial production China per bulan April 2022 mengalami pertumbuhan yang terkontraksi, akibat pembatasan aktivitas ekonomi dan penutupan beberapa pabrik di China. 

"Kondisi tersebut selanjutnya mendorong ekspektasi pelaku pasar bahwa pertumbuhan ekonomi China akan mengalami perlambatan pada tahun ini, sehingga mendorong risk-off sentiment di pasar keuangan global yang kembali mendorong penguatan dolar AS lebih lanjut," tuturnya. 

Faktor ketiga yaitu dari sisi domestik, di mana kebijakan larangan ekspor CPO dari pemerintah Indonesia beberapa waktu lalu juga berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah.

Baca juga: Rupiah Cepat Dukung Side Event G20 Business Matching di Bali

Josua menilai, dampak dari larangan ekspor CPO tersebut diperkirakan akan berdampak pada penurunan nilai ekspor Indonesia .

"Kebijakan larangan ekspor yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah Indonesia, namun juga negara lain misalnya pemerintah India yang mengeluarkan kebijakan larangan ekspor gandum dikhawatirkan akan dapat menganggu global supply chain dan mendorong kenaikan harga pangan secara global," tuturnya. 

Lebih lanjut Josua mengatakan, mempertimbangkan kondisi pelemahan nilai tukar tidak hanya dialami rupiah, namun sebagian besar mata uang global termasuk peer Asia, maka artinya pelemahan rupiah ini lebih didominasi sentimen bersifat sementara. 

"Faktor fundamental ekonomi Indonesia saat ini sangat solid, dimana tren kenaikan harga komoditas global mendorong kenaikan kinerja ekspor yang selanjutnya berimplikasi pada kondisi neraca transaksi berjalan Indonesia yang berada dalam level yang sehat," paparnya.

Prospek pemulihan ekonomi domestik yang masih berlanjut, diyakini Josua juga menjadi faktor daya tarik bagi asset keuangan berdenominasi rupiah.

Lalu, kondisi fiskal yang kuat dan prudent, dimana defisit fiskal dijaga untuk turun dan pada 2023 kembali ke level normal yakni 3 persen terhadap GDP, menjadi pertimbangan besar rating agency S&P yang belum lama ini upgrade outlook rating Indonesia menjadi stable dari sebelumnya negatif. 

"Mempertimbangkan faktor fundamental ekonomi Indonesia yang kuat, serta potensi kenaikan suku bunga acuan BI untuk meredam pelemahan rupiah dan mendorong stabilitas inflasi, maka nilai tukar rupiah diperkirakan cenderung akan stabil sesuai dengan fundamentalnya," tutur Josua.

Baca juga: Rupiah Kembali Jeblok, Hari Ini Pimpin Penurunan Terhadap Dolar di Asia

Rupiah Anjlok ke Level Rp 14.668 Per Dolar AS

Kurs rupiah di pasar spot tampak tak berdaya pada perdagangan tengah hari ini. Senin (12/5), rupiah spot berada di level Rp 14.668 per dolar Amerika Serikat (AS).

Ini membuat rupiah melemah 0,18 % dibanding penutupan Jumat (20/5) di Rp 14.642 per dolar AS. Alhasil, rupiah pun menjadi mata uang dengan pelemahan terbesar di Asia.

Hingga pukul 12.30 WIB, pergerakan mata uang di kawasan cenderung beragam. Di mana, dolar Taiwan berada satu tingkat lebih baik dari rupiah setelah koreksi 0,14 % .

Selanjutnya, rupee India tertekan 0,13 % dan peso Filipina terdepresiasi 0,06 % . Disusul, ringgit Malaysia yang terkikis 0,03 % .

Kemudian ada won Korea Selatan turun 0,02 % dan dolar Hong Kong melemah tipis 0,01 % pada perdagangan tengah hari ini.

Baca juga: Rupiah Anjlok ke Level Rp 14.668 Per Dolar AS, Jadi yang Terlemah di Asia

Sementara itu, dolar Singapura menjadi mata uang dengan penguatan terbesar di Asia setelah melonjak 0,33 %. Diikuti, baht Thailand yang terkerek 0,29 % .

Berikutnya, yen Jepang terangkat 0,28 % serta yuan China yang menguat 0,13 % terhadap the greenback.

Pimpin Penurunan Terhadap Dolar di Asia

Perdagangan rupiah pada akhir perdagangan Senin (23/5/2022) berakhir jeblok.

Nilai rupiah terhadap dolar AS tanjlok di level Rp 14.672 per dolar Amerika Serikat (AS).

Ini membuat rupiah spot melemah 0,20 % dibanding penutupan Jumat (20/5) di Rp 14.642 per dolar AS.

Alhasil, rupiah pun menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam di Asia.

Hingga pukul 15.00 WIB, mayoritas mata uang di kawasan menguat.

Baht Thailand menjadi mata uang dengan penguatan terbesar di Asia setelah melonjak 0,43 % .

Selanjutnya, yuan China terkerek 0,37 % dan dolar Singapura terangkat 0,36 % .

Disusul, won Korea Selatan yang sudah ditutup menanjak 0,20 % .

Berikutnya, yen Jepang terapresiasi 0,20 % . Lalu, ringgit Malaysia dan dolar Taiwan sama-sama menguat tipis 0,06 % .

Sementara itu, peso Filipina berada satu tingkat lebih baik dari rupiah setelah ditutup koreksi 0,09 % . Diikuti, rupee India yang turun 0,07 % .

Kemudian ada dolar Hong Kong yang melemah tipis 0,02 % terhadap the greenback pada perdagangan sore ini. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini