Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Presiden Bank Dunia David Malpass menyatakan pandangan terbarunya tentang tren ekonomi global bahwa akan ada banyak negara yang sulit menghindari dari resesi.
Ia menekankan, publik dapat menambahkan Bank Dunia ke dalam kelompok yang membunyikan lonceng alarm resesi global.
Dikutip dari CNN, Kamis (9/6/2022), Malpass bergabung dengan banyak tokoh lainnya di Wall Street dan bank sentral seluruh dunia untuk mulai memperingatkan tentang penurunan ekonomi yang tajam.
CEO JPMorgan Chase, Jamie Dimon sebelumnya telah merujuk pada 'badai' ekonomi di cakrawala pada pekan lalu, sementara CEO Tesla, Elon Musk mengatakan bahwa dirinya memiliki 'firasat yang sangat buruk' tentang ekonomi.
Malpass mengatakan ada sederet peristiwa yang menghantam perekonomian global.
Baca juga: Ekonom Indef: Pertanian Tumbuh 1,84 Persen, Jadi Bantalan Resesi Selama Pandemi
"Perang di Ukraina, sistem penguncian (lockdown) di China, gangguan rantai pasokan dan risiko stagflasi memukul pertumbuhan," tegas Malpass.
Istilah 'Stagflasi' yang merupakan kombinasi dari pertumbuhan ekonomi yang stagnan dan inflasi yang tinggi, telah menjadi kekhawatiran utama akhir-akhir ini.
Baca juga: Bank Dunia: Perang di Ukraina Dapat Memicu Resesi Global
Tren ini membuat para ahli dan konsumen yang lebih tua 'bernostalgia' pada peristiwa akhir 1970-an, saat kejutan minyak dan ekonomi lesu menyebabkan dua penurunan yang disebut resesi double-dip pada awal 1980-an.
Para investor gugup saat mengetahui fakta bahwa Federal Reserve menaikkan suku bunga secara agresif untuk mencoba menekan kenaikan harga.
Baca juga: Situasi Terkini Ekonomi AS Menuju Resesi, Biden Bisa Kehilangan Dukungan
Masalahnya adalah beberapa orang khawatir The Fed terlambat memulai kampanyenya untuk memerangi inflasi.
Akibatnya, bank sentral dapat memicu resesi karena terburu-buru mengejar kenaikan suku bunga lebih banyak.
Prospek suku bunga jangka pendek yang lebih tinggi dari The Fed telah menyebabkan lonjakan imbal hasil obligasi Treasury jangka panjang pada tahun ini.
Tingkat hipotek juga melonjak, menyebabkan kekhawatiran bahwa pasar perumahan bisa melambat secara dramatis.
Bisnis juga bergulat dengan biaya yang lebih tinggi untuk komoditas dan upah, bahkan saat ini harus bersaing dengan suku bunga yang lebih tinggi yang berpotensi merugikan laba mereka juga.
Sederet potensi itu menjadi bagian dari alasan mengapa Bank Dunia kini semakin gugup.
Organisasi pemberi pinjaman internasional pun kini mengharapkan ekonomi global tumbuh pada kecepatan tahunan 'hanya 2,9 persen' tahun ini.
Turun tajam dari tingkat pertumbuhan 5,7 persen tahun lalu serta perkiraan Bank Dunia pada Januari 2022 yakni sebesar 4,1 persen.
"Pemulihan dari stagflasi tahun 1970-an membutuhkan kenaikan tajam suku bunga di negara-negara maju utama, yang memainkan peran penting dalam memicu serangkaian krisis keuangan di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang," kata Bank Dunia dalam perkiraan barunya.
Bank Dunia tidak mengharapkan rebound besar dalam waktu dekat.
Karena dikatakan bahwa pertumbuhan global harus 'melayang di sekitar' level 2,9 persen untuk tahun depan dan 2024, menggambarkan beberapa tahun ke depan sebagai 'periode pertumbuhan lemah yang berlarut-larut dan inflasi yang meningkat'.