TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Negara (BAKN) DPR RI Anis Byarwati mengingatkan pemerintah agar hati-hati dalam melaksanakan dan menentukan kebijakan, baik fiskal maupun moneter.
Anis berujar, hal itu dalam rangka menanggapi pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut ekonomi 60 negara di dunia akan ambruk, berdasarkan data dari World Bank atau International Monetary Fund (IMF).
"Tentu saja menjadi warning bagi Indonesia khususnya. Artinya Indonesia harus ekstra hati-hati dalam melaksanakan kebijakan baik fiskal maupun moneternya," kata Anis, Rabu (22/6/2022).
Baca juga: Ekonomi Sri Lanka Bangkrut, IMF Diminta Jadi Pahlawan
Apalagi, lanjut dia, di tengah kondisi dunia yang sedang menghadapi ancaman krisis pangan dan energi. Indonesia juga pasti menjadi salah satu negara yang terdampak kondisi tersebut, ditambah dengan masyarakat yang tengah kesulitan menghadapi kenaikan sejumlah harga komoditas.
"Himpitan harga-harga yang melambung tinggi, naiknya angka kemiskinan dan pengangguran, serta proses pemulihan ekonomi pascaCovid-19 masih menjadi masalah nasional," ujar Anggota Komisi XI DPR RI tersebut.
Oleh karena itu, ucap Anis, pemerintah harus waspada dan tepat dalam melaksanakan setiap kebijakan, termasuk dalam pengelolaan APBN. Apalagi sekarang sedang dalam tahap penyusunan anggaran tahun 2023.
Maka, politik anggaran negara sangat penting untuk memastikan bahwa APBN disusun sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi.
Saat berpidato di Rakernas PDI Perjuangan Selasa lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti ekonomi dunia yang saat ini dalam kondisi tidak normal. Menurut Jokowi, ekonomi 60 negara di dunia akan ambruk akibat terdampak pandemi dan krisis ekonomi. Perkiraan ini, kata Jokowi berdasarkan perhitungan organisasi bank dunia, dana moneter dunia (IMF) dan PBB.
Baca juga: Ekonomi Sri Lanka Runtuh Setelah Berbulan-bulan Kekurangan Pasokan Makanan
"Angka-angkanya saya diberi tahu, ngeri kita. Bank dunia menyampaikan, IMF menyampaikan, UN PBB menyampaikan. Terakhir baru kemarin, saya mendapatkan informasi, 60 negara akan ambruk ekonominya, 42 dipastikan sudah menuju ke sana," ujar Jokowi.
"Siapa yang mau membantu mereka kalau sudah 42. Mungkin kalau 1,2,3 negara krisis bisa dibantu mungkin dari lembaga-lembaga internasional. Tapi kalau sudah 42 nanti betul dan mencapai bisa 60 betul, kita enggak ngerti apa yang harus kita lakukan," tegasnya.
Oleh karenanya, Jokowi meminta agar Indonesia senantiasa berjaga-jaga, hati-hati, dan waspada. Jokowi menekankan, Indonesia saat ini tidak berada pada posisi normal. Dia mengingatkan, begitu krisis keuangan masuk ke krisis pangan, masuk ke krisis energi kondisinya akan semakin mengerikan.
"Saya kira kita tahu semuanya. Sudah 1,2,3 negara mengalami itu. Tidak punya cadangan devisa, tidak bisa beli BBM, tidak bisa beli pangan, tidak bisa impor pangan karena pangannya, energinya, impor semuanya," jelas Jokowi.
"Kemudian terjebak juga kepada pinjaman utang yang sangat tinggi. Karena debt ratio-nya terlalu tinggi," lanjutnya. Jokowi kembali mengingatkan masyarakat agar tetap berhati-hati. Terlebih saat ini pemerintah masih terus mensubsidi harga sejumlah komoditas. Misalnya, bensin Pertalite dengan harga jual Rp 7.650 per liter dan Pertamax seharga Rp 12.000,- per liter.
"Hati-hati ini bukan harga sebenarnya lho. Ini adalah harga yang kita subsidi. Dan subsidinya besar sekali. Saya berikan perbandingan saja Singapura harga bensin sudah Rp 31.000, di Jerman harga bensin juga sudah sama Rp 31.000, di Thailand sudah Rp 20.000," ungkap Jokowi.
Baca juga: Antisipasi Krisis Ekonomi Global, Ekonom Indef Sarankan Pemerintah Jaga Konsumsi Masyarakat
"Tetapi ini yang harus kita ingat, subsidi kita ke sini itu bukan besar, besar sekali. Bisa dipakai untuk membangun ibu kota satu. Karena angkanya sudah Rp 502 T. Ini semua yang kita harus mengerti," tambahnya.
Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan, bahkan subsidi itu bisa dipakai untuk bangun Ibu Kota Negara (IKN) lantaran sudah mencapai Rp 502 triliun. "Curhatan Jokowi seharusnya terkait subsidi dan kompensasi salah sasaran, yang selama ini tidak pernah ada solusinya, kecuali hanya pada tataran wacana saja," ujarnya.
Menurutnya untuk menekan mengelembungnya subsidi dan kompensasi BBM, ada beberapa upaya yang sebenarnya bisa dilakukan. Pertama, penetapan harga Pertamax dan Pertamax ke atas diserahkan saja kepada Pertamina untuk menetapkan harganya sesuai harga keekonomian.
Dengan demikian, negara tidak harus membayar kompensasi akibat adanya perbedaan harga ditetapkan dengan harga keekonomian. Kedua, tetapkan pembatasan untuk penggunaan Pertalite dan Solar dengan kriteria yang sederhana dan operasional di lapangan. Fahmy menyampaikan, tetapkan saja bahwa pengguna Pertalite dan Solar hanya untuk sepeda motor dan kendaran angkutan.
Ketiga, hapus BBM RON 88 Premium, dengan alasan yakni kendati penggunaan Premium sudah dibatasai hanya di luar Jamali, tapi impor dan subsidi contents Premium masih cukup besar, yang juga menambah beban APBN.
Baca juga: Ekonomi Jerman Menuju Jurang Resesi oleh Embargo Gas Rusia
"Ketimbang mencurhatkan besaran subsidi BBM yang sudah given, akan lebih produktif bagi Jokowi untuk mengupayakan subsidi yang lebih tepat sasaran sehingga dapat mengurangi beban APBN. Jika beban subsidi BBM dapat diturunkan, dana subsidi itu dapat digunakan untuk membiayai pembangunan IKN," pungkas Fahmy.
Lalu bagaimana dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini?
Kenaikan bunga The Fed beberapa waktu lalu memang berimbas kepada nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS dan aliran modal asing. Pada penutupan Kamis(22/6) sore rupiah melemah 50 poin atau 0,34 persen ke posisi Rp 14.863 per dolar AS.
Lalu data Bank Indonesia(BI) pertengahan Juni 2022 menunjukkan aliran modal asing sudah keluar dari pasar keuangan Indonesia mencapai Rp 7,34 triliun. Secara rinci, dana yang keluar dari pasar SBN sebesar Rp 6,75 triliun, sedangkan yang keluar melalui saham sebanyak Rp 590 miliar.
Namun dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi serta rasio utang, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, Indonesia masih dalam level aman. Penegasan ini diutarakan Sri Mulyani usai berbicara dengan menteri-menteri keuangan dunia yang menghadapi dilema yang sama.
Teranyar, dia berbicara dengan Wakil Perdana Menteri Singapura, Lawrence Wong. Tingkat inflasi di Singapura mencapai 3,3 persen saat April 2022. Di Indonesia, tingkat inflasi pada Mei sebesar 3,55 persen (yoy) tertinggi sejak Desember 2019 sebesar 3,61 persen (yoy) kala itu.
Tingkat inflasi di negara-negara tersebut jauh lebih kecil dibanding inflasi di AS yang mencapai 8,6 persen pada Mei 2022, maupun inflasi di Turki yang sudah tembus 73,5 persen (yoy) akibat krisis ekonomi yang sudah terjadi di negara tersebut.
Baca juga: Ekonomi 60 Negara di Dunia Akan Ambruk, Jokowi: 42 Dipastikan Sudah Menuju ke Sana
"Jika dibandingkan dengan banyak negara di dunia, ini masih dalam taraf yang relatif aman," ucap Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
Dilihat dari utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), rasio utang Indonesia saat ini sebesar 38 persen dari PDB, mengecil dari 42 persen PDB saat awal-awal menghadapi pandemi Covid-19. Namun kata Sri Mulyani, rasio utang ini sudah membuat masyarakat baper atau bawa perasaan.
"Kalau ngomongin utang di Indonesia, biasanya sedikit baper. Dengan pendapatan kuat yang kita nikmati karena ledakan komoditas, rasio utang kita terhadap PDB sebenarnya sekarang turun menjadi 38 persen dari PDB, bahkan selama masih dalam (pandemi Covid-19) di tahun ketiga," ucap Sri Mulyani.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2021 mencapai 3,69 persen (yoy) dengan pertumbuhan ekonomi di kuartal IV 2021 mencapai 5,02 persen.
Pertumbuhan pada kuartal IV 2021 itu jauh lebih tinggi dari China, salah satu mitra dagang terbesar. Pada kuartal IV, China tumbuh 4 persen, lebih rendah sekitar 1,02 persen poin dari Indonesia. (Tribun Network/nis/van/wly)