News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Gejolak Rupiah

Rupiah Bisa Tembus Rp 15.000 Per Dolar AS Jelang Kenaikan Suku Bunga The Fed Berikutnya

Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

nilai tukar mata uang Garuda terhadap dolar AS bisa kembali melemah hingga tembus Rp 15.000 jelang kenaikan suku bunga AS berikutnya di Juli 2022.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan, kenaikan tingkat suku bunga Amerika Serikat (AS) atau The Fed menjadi satu di antara faktor utama melemahnya rupiah Juni ini.

Selanjutnya, dia memperkirakan nilai tukar mata uang Garuda terhadap dolar AS bisa kembali melemah hingga tembus Rp 15.000 jelang kenaikan suku bunga AS berikutnya di Juli 2022.

"Pasti, kami melihat peluang begitu besar bagi rupiah menembus 15.000, meskipun kami yakin Bank Indonesia akan melakukan intervensi. Rupiah dengan tingkat probabilitas sebesar 59 persen berpotensi menuju Rp 14.875 secara jangka pendek, dan 54 persen berpotensi menuju Rp 15.050," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribunnews.com, Minggu (26/6/2022).

Baca juga: BI Akui Rupiah Sudah Melemah 4,14 Persen dari Posisi Akhir 2021

Sebelumnya, kenaikan tingkat suku bunga The Fed hingga 75 basis poin (bps) bulan ini, telah mendorong penguatan dolar AS.

"Di mana tentu saja mata uang kita dibuat tidak berdaya. Namun, tingginya permintaan komoditas justru menjadi kesempatan bagi kita untuk meningkatkan ekspor di tengah pelemahan rupiah," kata Nico.

Adapun sejauh ini apabila Bank Indonesia memang yakin masih tetap menahan suku bunga, tentu pelaku pasar dan investor pun akan tenang.

Baca juga: Tekanan Eksternal Kembali Dorong Rupiah Melemah ke Level Rp 14.845 Per Dolar AS

"Apalagi kami yakin, Bank Indonesia juga sudah berkoordinasi dengan berbagai pihak. Sejauh mana Bank Indonesia yakin, sejauh itu pula pelaku pasar dan investor percaya," tutur dia.

Di sisi lain, tingginya inflasi memang memberikan tekanan, apalagi spread antara tingkat suku bunga The Fed dan Bank Indoensia semakin mengecil.

Hal tersebut berpotensi mendorong capital outflow atau arus modal keluar lebih besar, sehingga akan mendorong rupiah kian mengalami pelemahan.

"Namun, kami berharap Bank Indonesia juga tetap menjaga rupiah dan imbal hasil obligasi, untuk menjaga daya tarik investor asing berinvestasi di dalam negeri," pungkas Nico.

Dampak Positif dan Negatif Rupiah Melemah Bagi Dunia Usaha, Seperti Apa?

Ketua Apindo Bidang Kebijakan Publik, Sutrisno Iwantono mengungkapkan dampak positif dan negatif dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Sutrisno berujar keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) (The Fed) menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin berdampak besar bagi mata uang banyak negara, termasuk rupiah.

"Tapi kan' tidak berarti kemudian ekonomi domestik jelek. Artinya sepanjang ekonomi domestik bagus maka pelemahan-pelemahan ini sifatnya sementara," ujar Sutrisno saat dihubungi, Jumat (24/6/2022).

Namun, ucap Sutrisno, pelemahan nilai tukar rupiah akan berdampak terhadap industri-industri yang bahan baku dari impor. Terutama akan mengalami kenaikan biaya produksi.

"Manufakturing, alumunium, baja, dan sebagainya. Itu pasti biaya produksi akan naik. Karena kita akan membeli barang lebih mahal," tutur Sutrisno.

Hal tersebut akan memperlemah daya saing industri-industri yang sangat bergantung dari bahan baku luar negeri. Tapi di sisi lain, akan berdampak positif juga bagi industri-industri yang berorientasi ekspor.

"Karena tukar rupiah, membuat barang-barang kita jadi murah di mata pasar global. Sehingga bagi industri-industri berbasis bahan baku lokal, harus memanfaatkan ini sebaik-baiknya," kata Sutrisno.

Karena itu, Apindo berharap pemerintah bisa mendukung industri-industri yang berorientasi ekspor dan memberikan dukungan terhadap bahan baku lokal.

"Daya tahan ekonomi kita berbasiskan dukungan dalam negeri, tidak hanya UMKM tapi yang berbasiskan dalam negeri sumber daya seperti industri berbasis pertanian, karena itu kan' produksi dalam negeri, seperti perikanan. Kalau itu diberi nilai tambah itu akan memberi dorongan ekspor," imbuh Sutrisno.

Melemahnya nilai tukar rupiah, kata Sutrisno, memang memiliki dampak positif dan negatif. Contoh dampak negatif, yakni beban utang jadi tinggi.

"Karena utang kita dolar, dolarnya mahal. Industri penghasil dolar itu harus dikembangkan, supaya bisa mengimbangi kebutuhan dolar. Karena utang jadi berat, nanti kemampuan pemerintah membiayai APBN jadi terbatas," kata Sutrisno.

Sutrisno mengatakan, karena itu konsumsi rumah tangga harus tetap dipertahankan. Supaya bisa mempertahankan permintaan pasar. Upaya mendorong daya beli ini tetap penting supaya ekonomi tetap tumbuh karena konsumsi.

Diprediksi Masih Akan Melemah Pekan Depan

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pekan depan diprediksi masih akan melemah, seiring kuatnya tekanan sentimen negatif dari eksternal.

"Untuk perdagangan Senin depan, mata uang rupiah kemungkinan dibuka berfluktuatif, namun ditutup melemah di rentang Rp 14.830 sampai Rp 14.890 per dolar AS," kata Direktur PT.Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi, Sabtu (25/6/2022).

Pada perdagangan kemarin, rupiah melemah tipis 7 poin walaupun sempat merosot 20 poin ke posisi Rp 14.847 dari penurupan hari sebelumnya Rp 14.840 per dolar AS. 

Ibrahim menjelaskan, petinggi bank sentral Amerika Serikat (The Fed) telah mengisyaratkan akan menaikkan suku bunga acuannya kembali 75 basis poin pada Juli 2022, untuk menjinakan inflasi di negeri Paman Sam tersebut. 

"Kemudian diikuti oleh beberapa kenaikan setengah poin lagi, guna untuk menjinakkan inflasi, bahkan di tengah risiko terhadap pertumbuhan," paparnya.

Analis Mirae Asset Sekuritas Rully Arya Wisnubroto menambahkan, penguatan dolar AS bukan hanya melemah rupiah saja, tetapi mata uang negara lain juga mengalami pelemahan bahkan lebih dalam. 

"Hali ini masih terkait dengan rencana The Fed yang semakin agresif. Selain itu sentimen negatif juga muncul dari tren harga CPO yang cenderung menurun dalam beberapa waktu terakhir," kata Rully.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini