Laporan Wartawan Tribunnews, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, MINNEAPOLIS – Untuk pertama kalinya dalam kurun waktu hampir dua bulan, harga minyak mentah turun di bawah 100 dolar AS per barel.
Hal ini memicu kekhawatiran investor yang berkembang tentang resesi Amerika Serikat yang dapat menghambat permintaan minyak.
Dikutip dari CNN, Rabu (6/7/2022) harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) turun sebesar 10 persen pada Selasa (5/7), mencapai level terendah di angka 97,43 dolar AS sebelum ditutup di angka 99,50 dolar AS, turun 8 persen pada hari itu.
Sedangkan minyak mentah Brent turun lebih dari 10 persen ketika mencapai level terendah pada hari Selasa yakni di angka 101,10 dolar AS per barel, sebelum menetap di angka 102,77 dolar AS pada saat penutupan.
Ini merupakan pertama kalinya WTI berada di bawah 100 dolar AS sejak 11 Mei dan juga terakhir kalinya Brent, yang biasanya diperdagangkan sedikit lebih tinggi, berada di bawah 102 dolar AS per barel.
Gas berjangka grosir juga turun hampir 10 persen pada saat penutupan hari Selasa, yakni 36 sen per galon.
Baca juga: Harga Minyak Mentah Jatuh 9 Persen oleh Kekhawatiran Resesi dan Lockdown di China
Harga gas melewati batas 5 dolar AS untuk pertama kalinya pada 11 Juni dan mencapai puncak 5,02 dolar AS per galon pada 14 Juni.
Kepala analisis energi global untuk OPIS, Tom Kloza mengatakan, meningkatnya kekhawatiran tentang kemungkinan resesi adalah pendorong utama aksi jual terbaru dalam minyak dan bensin berjangka.
Sementara itu, investor minyak dan bensin percaya bahwa hanya ada sedikit kekuatan pasar untuk menjaga harga tetap terkendali dalam waktu dekat.
Baca juga: Krisis Energi, Sri Lanka Kirim Perwakilannya untuk Cari Diskon Minyak Mentah ke Rusia
"Sekarang ada risiko penurunan besar yang dirasakan terkait dengan risiko resesi," kata Kloza.
Ada kekhawatiran yang meningkat tentang resesi dalam beberapa pekan terakhir, yang telah membantu menurunkan harga minyak secara tajam. Brent berada di angka 123,58 dolar AS per barel pada 8 Juni, sementara WTI berada di angka 122,11 dolar AS per barel.
Tetapi sejak puncak itu, Indeks Harga Konsumen menunjukkan harga konsumen mencapai level tertinggi dalam kurun waktu 40 tahun terakhir, salah satu metrik utama yang mendorong Federal Reserve untuk menaikkan suku bunga sebesar tiga perempat poin persentase sebagai cara untuk memerangi tekanan harga tersebut.
Baca juga: Harga Minyak Mentah Turun, Investor Was-was Suku Bunga Fed Merusak Permintaan
Itu telah meningkatkan ekspektasi bahwa langkah agresif bank sentral untuk mendinginkan ekonomi dapat menyebabkan hilangnya pekerjaan dan resesi.
Di sisi lain, harga minyak dan gas melonjak awal tahun ini, setelah invasi Rusia ke Ukraina mendorong Amerika Serikat dan sekutu Eropanya untuk memberikan sanksi terhadap ekspor energi Rusia.
”Ada juga risiko bahwa perkembangan lebih lanjut dalam ekspor minyak Rusia terkait dengan perang di Ukraina atau badai yang menghantam infrastruktur minyak AS di sepanjang Pantai Teluk membuat harga naik dengan cepat.” pungkas Kloza.