TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memaparkan kebutuhan Pemerintah Indonesia untuk melakukan transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT) membutuhkan dana setidaknya sebesar Rp 3.500 triliun, terutama untuk mencapai target net zero emission (NZE).
Sri Mulyani memaparkan, Indonesia membutuhkan 243 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekira Rp 3.500 triliun untuk mencapai target mengurangi emisi karbon sebesar 29 persen di 2030.
Untuk perbandingan, lanjut dia, APBN Indonesia mencapai Rp 3.000 triliun.
"Itu hanya untuk sektor kelistrikan, Rp 3.500 triliun. APBN kita Rp 3.000 triliun. Sedangkan kebutuhan kita untuk mencapai pengurangan emisi karbon sebesar 29 persen itu Rp 3.500 triliun," ujar Sri Mulyani dalam forum bisnis Sustainable Finance: Instrument and Management in Achieving Sustainable Development of Indonesia, Rabu, 13 Juli 2022.
Menurut Sri Mulyani, saat ini yang perlu dibicarakan tidak hanya tentang komitmen untuk mereduksi atau mengurangi emisi tapi bagaimana Indonesia bisa mencapai komitmen tersebut.
"Kami butuh uang, teknologi dan prinsip agar sumber ini bisa dimobilisasi," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menambahkan untuk mencapai target NDC 29 persen, sektor ketenagalistrikan perlu mengurangi emisi karbon hingga 314 juta ton setara karbondioksida.
Sebab, sektor ketenagalistrikan menjadi penyumbang pengurang emisi karbon kedua terbesar setelah sektor kelistrikan.
Baca juga: Task Force Energy, Sustainability & Climate B20 Tegaskan 3 Rekomendasi Dukung Net Zero Emisi Karbon
Secara prinsip, biaya yang dikucurkan untuk mengurangi emisi tidak hanya akan berasal dari dana pemerintah. Memang, pemerintah akan memainkan peran yang penting tapi bukan menjadi satu-satunya sumber untuk menyelesaikan komitmen tersebut.
"Peran swasta sangat penting, peran pendanaan internasional juga sangat penting."
"Makanya untuk kerangka kebijakan yang memperbolehkan menarik pendanaan tidak hanya berasal dari pemerintah agar bisa mendanai pengurangan CO2 di konteks global karbon itu harus dihargai," tutur Sri Mulyani.
Baca juga: 3 Proyek Strategis PGN Disebut Bakal Tekan 5 Juta Emisi Karbon
Menkeu juga mengatakan peranan penting yang diemban oleh dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor energi, Pertamina dan PLN dalam mencapai target net zero emission (NZE).
Dia menuturkan, Pertamina dan PLN menjadi pihak-pihak yang bisa menentukan apakah Indonesia dapat mencapai komitmen dalam mencapai NZE.
"Apakah dua institusi ini Pertamina dan PLN akan menjadi Champion pada transformasi energi ini," ujar Sri Mulyani.
Indonesia memiliki hutan tropis yang besar. Karena itu komitmen dalam mencapai kontribusi nasional yang ditentukan Nationally Determined Contribution (NDC) dalam mengurangi emisi karbon amat penting bagi dunia.
Baca juga: Tekan Emisi Karbon, 5 APM Berkolaborasi Kembangkan Ekosistem Elektrifikasi di Bali
"Indonesia menargetkan akan mengurangi emisi karbon hingga 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030," kata Sri Mulyani.
Ia menambahkan, Kementerian Keuangan bersama kementerian dan lembaga terkait tengah berusaha merepresentasikan Indonesia mempunyai kemampuan untuk melakukan percepatan ke transformasi energi hijau.
"Ini tugas kita untuk capai komitmen itu jadi kita sekarang bekerja bersama-sama dengan PLN. Pertamina saya harapkan bisa juga berpartisipasi secara aktif," ucap Sri Mulyani.
Saat ini 62 persen dari energi PLN berasal dari batu bara sehingga setiap energi yang dikonsumsi berkontribusi terhadap emisi karbon.
Namun, ucap Sri Mulyani, upaya untuk merealisasikan transformasi ke energi hijau perlu dilakukan bersama-sama.
Karena itu Indonesia juga perlu membuat ekosistem untuk semua pendanaan perubahan iklim.
"Ketika berbicara soal ekosistem artinya kerangka kebijakan termasuk sektor pendanaan yang berkemampuan untuk memobilisasi pendanaan hijau itu artinya kita perlu punya kebijakan penegakan integritas karenanya kita bekerja sama dengan OJK dan juga Bank Indonesia (BI) supaya bisa membangun taksonomi yang tepat," tutur Sri Mulyani.
Indonesia perlu mengurangi karbon mulai 314 juta ton setara karbondioksida sampai 446 juta ton setara karbondioksida dari sektor ketenagalistrikan saja.
Selain membangun pasar karbon, untuk membiayai penyediaan tenaga listrik yang lebih ramah lingkungan, pemerintah juga terus mendorong transisi energi ke arah yang lebih hijau.
Namun saat ini Indonesia terus berkembang, bahkan kata Menkeu kebutuhan listrik akan terus meningkat. "Indonesia akan terus berkembang jadi kebutuhan kita untuk listrik akan terus meningkat," ujar Sri Mulyani.
Ia mengatakan, Indonesia berkomitmen mencapai Net Zero Emission (NZE) dalam upaya penanganan perubahan iklim. Di antaranya dengan mentransisikan produksi energi yang sebelumnya berbasis fosil dengan energi terbarukan.
Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 29 persen dengan upaya dan sumber daya yang dimiliki Indonesia sendiri, atau meningkatkan pengurangan CO2 hingga 41 % dengan dukungan internasional.
"Bagaimana Indonesia akan memenuhi permintaan yang semakin tinggi terhadap listrik yang juga dalam waktu yang bersamaan mengurangi CO2 itu adalah tantangannya," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani berujar, Indonesia akan terus membutuhkan listrik. Ditambah dengan pendapatan per kapita masyarakat saat ini, mencapai 4.350 dolar Amerika Serikat (AS).
Jika Indonesia bisa mencatat pertumbuhan ekonomi 5,7 persen per tahun, maka target menjadi negara maju pada 2045 mendatang bisa tercapai.
"Maka konsumsi terhadap listrik tentu akan terus bertambah. Orang-orang biasanya punya satu rumah kecil tanpa AC, nanti mereka punya AC. Orang yang biasanya tidak punya kulkas sekarang punya kulkas," ucap Sri Mulyani.
Karena itu, penting bagi Sri Mulyani, seluruh pemangku kepentingan terus mendorong komitmen untuk bersama-sama berusaha mencapai net zero emission, terutama dari sektor ketenagalistrikan.
"Jadi pertanyaan untuk PLN, bagaimana Anda bisa menghasilkan lebih banyak listrik dengan mengurangi CO2 itu tantangannya sekarang," tutup Sri Mulyani.(Tribun Network/nis/wly)