Gubernur bank sentral Sri Lanka itu menggambarkan Wickremesinghe sebagai “pendukung kuat” reformasi ekonomi, setelah mengetahui Wickremesinghe terlibat dalam negosiasi dengan IMF.
“Saya berharap komitmen itu akan terus berlanjut, semakin cepat semakin baik, sehingga kita bisa mengurangi rasa sakit yang kita alami saat ini,” kata Weerasinghe.
Di sisi lain, bank sentral Sri Lanka memperkirakan bahwa masalah rendahnya cadangan devisa akan berlanjut selama beberapa bulan ke depan sampai kesepakatan tercapai dengan IMF.
Weerasinghe juga mengatakan, Sri Lanka sedang menegosiasikan jalur kredit dengan beberapa negara sahabat seperti India, Jepang, Cina dan Bangladesh.
Baca juga: Wickremesinghe Terpilih sebagai Presiden Sri Lanka, Demonstran: Dia Lebih Licik dari Rajapaksa
Selain itu, Weerasinghe menepis laporan bahwa Sri Lanka telah jatuh ke dalam “jebakan utang China.”
Sebelumnya, China telah mendanai pembangunan infrastruktur besar-besaran di Sri Lanka dan memperpanjang pinjaman selama beberapa dekade terakhir.
Dalam contoh yang sering dikutip, Sri Lanka terpaksa menyewakan pelabuhan Hambantota-nya kepada sebuah perusahaan Cina selama 99 tahun setelah gagal membayar kembali pinjamannya.
“Saya tidak setuju dengan konsep terjebak oleh utang China,” kata Weerasinghe, seraya menambahkan bahwa China telah “berinvestasi dan membantu” Sri Lanka dalam jangka waktu yang lama.
Baca juga: Australia, Singapura hingga Inggris Desak Warganya Hindari Perjalanan Tidak Penting ke Sri Lanka
Sri Lanka Bangkrut
Sri Lanka mengalami bangkrut setelah gagal mengatasi krisis ekonomi yang parah selama berbulan-bulan.
Sri Lanka memiliki tumpukan utang, gagal bayar, dan cadangan devisa yang menipis.
Sebagai informasi mengutip dari Channel News Asia, utang luar negeri Sri Lanka per akhir 2021 yaitu sebesar 50,72 miliar dolar AS. Jumlah ini sudah termasuk produk domestik bruto (PDB), utang 12 miliar dolar AS yang harus dibayarkan pada Agustus mendatang, serta pembayaran 21 miliar dolar pada akhir 2025.
Imbas dari pembengkakan utang ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa sekitar 80 persen masyarakat Sri Lanka di tahun ini berpotensi mengalami kekurangan pangan.