Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah negara di berbagai belahan dunia kini mengalami gejolak perekonomian yang cukup mengkhawatirkan.
Hal tersebut terlihat dari lonjakan inflasi yang signifikan, baik itu di Asia, Amerika, bahkan di Eropa.
Lonjakan inflasi yang terjadi saat ini disinyalir dampak dari adanya kenaikan harga komoditas dan energi dunia.
Baca juga: Pedagang Pasar Disebut Kena Imbas Kenaikan Inflasi Tertinggi Sejak 2017
Di sisi lain, terjadinya gangguan pada rantai pasokan.
Inflasi sejumlah negara terus melejit seiring dengan perekonomian dunia yang kian memburuk. Bahkan, beberapa di antaranya ada yang mencatatkan inflasi hingga di atas 100 persen.
Tribunnews.com menghimpun daftar negara dengan inflasi tertinggi berdasarkan data yang dirangkum oleh Trading Economics, dikutip Minggu (7/8/2022).
1. Lebanon (210 persen pada Juni 2022)
Laju inflasi di Lebanon masih tercatat sangat tinggi. Inflasi di negara tersebut pada Juni 2022 tercatat 210 persen secara tahunan.
Mengutip The National, hal ini disebabkan kurangnya pemantauan harga eceran, fluktuasi nilai tukar pound Lebanon di pasar paralel, pencabutan subsidi hidrokarbon secara bertahap dan penyelundupan barang impor juga menyebabkan kekurangan pasokan.
Air, listrik, gas dan bahan bakar lainnya melonjak 594 persen pada Juni 2022, dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu, diikuti oleh segmen kesehatan yang melonjak 492 persen.
Biaya transportasi melonjak 462 persen, sementara makanan dan minuman non-alkohol naik 332 persen.
Baca juga: Inflasi Turki Tembus 79,6 Persen, Ternyata Sederet Masalah Ini Jadi Biang Keroknya
2. Zimbabwe (257 persen pada Juli 2022)
Inflasi tahunan Zimbabwe melonjak menjadi 257 persen pada Juli dari 191,6 persen pada bulan sebelumnya.
Tingkat inflasi bulan ke bulan di bulan Juli mencapai 25,6 persen, turun 5,1 poin persentase dari tingkat bulan Juni sebesar 30,7 persen.
Melansir Xinhua, Zimbabwe mengalami tekanan inflasi selama tujuh bulan terakhir, antara lain didorong oleh faktor eksternal serta volatilitas nilai tukar.
Menteri Keuangan Mthuli Ncube mengatakan, inflasi impor telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap inflasi domestik.
3. Sudan (149 persen pada Juni 2022)
Sudan mengalami inflasi mencapai 149 persen pada Juni 2022. Inflasi tersebut sejatinya turun dari Mei 2022 sebesar 192 persen.
Baca juga: Inflasi AS Berlanjut, The Fed Diprediksi Akan Kerek Lagi Suku Bunga di Atas 4 Persen
Inflasi Sudan pernah mencapai puncaknya pada Juli 2021 dengan mencapai 422,78 persen. Gejolak politik dan krisis ekonomi menjadi penyebab utama tingginya inflasi.
4. Turki (79,6 persen pada Juli 2022)
Inflasi di Turki naik menjadi 79,6 persen pada Juli 2022.
Melansir Aljazeera, lonjakan inflasi karena pelemahan mata uang lira yang berkelanjutan dan biaya energi dan komoditas global mendorong harga lebih tinggi.
Inflasi mulai melonjak pada musim gugur lalu, ketika lira merosot setelah bank sentral secara bertahap memangkas suku bunga kebijakannya sebesar 500 basis poin menjadi 14 persen dalam siklus pelonggaran yang diupayakan oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan.
Baca juga: Dekan FEB UI Nilai Enam Bulan Waktu Krusial Pemerintah Mitigasi Inflasi
5. Argentina (64 persen pada Juni 2022)
Argentina mengalami lonjakan inflasi sebesar 64 persen pada Juni 2022 secara tahunan. Angka tersebut lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang sebesar 60 persen.
Krisis ekonomi di negara tersebut sudah terlihat dari adanya panic buying yang terjadi di negara Amerika Selatan tersebut.
6. Sri Lanka (60 persen pada Juli 2022)
Inflasi Sri Lanka dalam 12 bulan hingga Juli 2022 meningkat menjadi 60,8 persen.
Mengutip Kompas, kekurangan bahan makanan dan bahan bakar menyebabkan harga melambung tinggi.
Kemudian, terjadi pemadaman listrik dan kurangnya obat-obatan membawa sistem kesehatan di ambang kehancuran.
Krisis ekonomi Sri Lanka terjadi karena cadangan mata uang asing yang hampir habis.
Pada Mei 2022, Sri Lanka gagal bayar utang luar negeri untuk kali pertama sepanjang sejarah.
Baca juga: Perekonomian Inggris Makin Ambles, Inflasi Diprediksi Tembus 15 Persen di Awal 2023
Apa Itu Inflasi? Berikut Pengertian, Penyebab dan Dampaknya
Kata 'Inflasi' mungkin sudah tidak asing lagi terdengar.
Biasanya istilah ini muncul terkait stabilitas perekonomian.
Dikutip dari Badan Pusat Statistik, inflasi adalah kecenderungan naiknya harga barang dan jasa pada umumnya yang berlangsung secara terus menerus.
Jika harga barang dan jasa di dalam negeri meningkat, maka inflasi mengalami kenaikan.
Naiknya harga barang dan jasa tersebut menyebabkan turunnya nilai uang.
Dengan demikian, inflasi dapat juga diartikan sebagai penurunan nilai uang terhadap nilai barang dan jasa secara umum.
Baca juga: Inflasi Sektor Ritel India Turun ke Level Terendah di Juli 2022
Sementara itu, menurut laman resmi Bank Indonesia (BI), inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu.
Deflasi merupakan kebalikan dari inflasi, yakni penurunan harga barang secara umum dan terus menerus.
Perhitungan inflasi dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
BPS menghitung inflasi menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK) atau indeks pengeluaran.
Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya.
Pengukuran IHK
Berdasarkan the Classification of Individual Consumption by Purpose (COICOP), IHK dikelompokkan ke dalam tujuh kelompok pengeluaran, yaitu:
1. Bahan Makanan.
2. Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau.
3. Perumahan.
4. Sandang.
Baca juga: Masuk Zona Merah, Inflasi Turki Melonjak Jadi 79,6 Persen
5. Kesehatan.
6. Pendidikan dan Olahraga.
7. Transportasi dan Komunikasi.
Data pengelompokan tersebut didapatkan melalui Survei Biaya Hidup (SBH).
Mengapa inflasi bisa timbul?
Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi.
Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara mitra dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (Administered Price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.
Baca juga: Perekonomian Inggris Makin Ambles, Inflasi Diprediksi Tembus 15 Persen di Awal 2023
Faktor penyebab demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya.
Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh permintaan total lebih besar dari pada kapasitas perekonomian.
Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya.
Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum provinsi (UMP).
Meskipun ketersediaan barang secara umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, tetapi harga barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari kondisi supply-demand tersebut.
Demikian halnya pada saat penentuan UMP, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam mendorong peningkatan permintaan.
Baca juga: Pedagang Pasar Disebut Kena Imbas Kenaikan Inflasi Tertinggi Sejak 2017
Dampak Inflasi
Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun.
Sehingga, standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.
Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan.
Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi.
Baca juga: Inflasi Tinggi, Sinyal Ada Masalah Produksi Dan Distribusi Pangan
Hal itu pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai Rupiah.
Keempat, pentingnya kestabilan harga kaitannya dengan SSK (referensi).