Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, MANILA – Ekonomi Filipina mengalami pertumbuhan sebesar 7,4 persen selama kuartal April hingga Juni 2022, atau melambat dari kuartal sebelumnya pada tahun yang sama.
Pada kuartal sebelumnya periode Januari - Maret 2022, ekonomi Filipina berada pada level 8,2 persen.
Dikutip dari Aljazeera, Selasa (9/8/2022) Bank Sentral Filipina telah menyarankan untuk menaikkan suku bunga utamanya setengah poin persentase pada pertemuan kebijakan 18 Agustus, di tengah meningkatnya kepercayaan bahwa ekonomi dapat menahan biaya pinjaman yang lebih tinggi.
Bulan lalu, Bangko Sentral ng Pilipinas (BSP) atau Bank Sentral Filipina telah menaikkan suku bunga 0,75 poin persentase sebelum inflasi mencapai 6,4 persen di bulan Juli.
Baca juga: Menlu AS Antony Blinken Janjikan Perlindungan ke Filipina Jika Berkonflik dengan China
Sementara itu, Sekretaris Perencanaan Ekonomi, Arsenio Balisacan mengatakan bahwa hambatan global khususnya inflasi, telah berkontribusi pada perlambatan, tetapi kinerja ekonomi Filipina telah mengalahkan rekan-rekan regional seperti China dan Indonesia dan tetap berada di jalur untuk mencapai target pertumbuhan PDB pemerintah 2022 sebesar 6,5 persen hingga 7,5 persen.
“Perubahan tepat waktu dalam kebijakan terkait Covid-19, seperti pelonggaran tingkat kewaspadaan, penghapusan pembatasan pariwisata, dan percepatan peluncuran vaksin, membantu meningkatkan kegiatan ekonomi,” kata Balisacan.
Di sisi lain, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr sangat ingin melihat pertumbuhan ekonomi negaranya berada di angka 6,5 persen hingga 8 persen setiap tahun dari tahun 2023 hingga 2028.
Dia berjanji untuk memanfaatkan pertanian dan konstruksi infrastruktur untuk mendorong kebangkitan ekonomi Filipina dari pandemi.
"Laporan PDB menunjukkan pertumbuhan setahun penuh yang menetap di ujung bawah target pertumbuhan pemerintah yakni antara 6,5 persen hingga 7,5 persen," kata lembaga perbankan ING dalam sebuah catatan.
“Perekonomian menghadapi ancaman tiga kali lipat dari percepatan inflasi, kenaikan biaya pinjaman dan rasio utang terhadap PDB yang relatif tinggi. Inflasi yang lebih cepat, yang terakhir dilaporkan sebesar 6,4 persen, akan membatasi pengeluaran rumah tangga secara keseluruhan sementara kenaikan suku bunga kemungkinan akan menghalangi pengeluaran investasi. Sementara itu, tingkat utang yang tinggi dapat menjadi hambatan dan mengurangi kemampuan pemerintah nasional untuk memberikan stimulus dalam waktu dekat.” pungkasnya.