Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, KOLOMBO – Perwakilan dari Dana Moneter Internasional (IMF) telah bertemu dengan presiden Sri Lanka Ranil Wickremesinghe pada hari Rabu (24/8) untuk pembicaraan tentang restrukturisasi utang senilai 29 miliar dolar AS.
Dilansir dari Channel News Asia, Kamis (25/8/2022) poin utama yang mencuat dari pertemuan antara IMF dan Pemerintah Sri Lanka adalah bagaimana menemukan jalur berkelanjutan untuk utang berat negara itu, yang mencapai 114 persen dari PDB pada akhir tahun lalu.
Menurut data kementerian keuangan Sri Lanka, utang bilateral negara itu mencapai 9,6 miliar dolar AS. Sedangkan utang obligasi internasionalnya mencapai 19,8 miliar dolar AS.
Baca juga: Semalam, Mantan Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa Tiba di Thailand Usai Tinggal ke Singapura
Jepang dan China adalah pemegang utang bilateral terbesar, dengan China menyumbang sekitar 3,5 miliar dolar AS. Secara keseluruhan, ketika utang komersial ditambahkan, China memegang sekitar seperlima dari portofolio utang Sri Lanka.
"Masalahnya adalah bagaimana utang China dan domestik akan dimasukkan dalam pembicaraan," kata Timothy Ash, ahli strategi senior pasar negara berkembang di BlueBay Asset Management.
Krisis Ekonomi Sri Lanka
Sri Lanka, negara berpenduduk 22 juta jiwa itu menghadapi krisis keuangan paling parah sejak kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948, akibat dari dampak pandemi COVID-19 dan salah urus ekonomi.
Sri Lanka juga tengah menghadapi hiperinflasi, dengan tingkat inflasi secara keseluruhan mencapai 60,8 persen, sementara inflasi makanan di bulan Juli jauh lebih tinggi, yakni sebesar 90,9 persen.