“Kalau bisa diganti pakai listrik, kita pakai baterai bisa menghemat anggaran,” tutur Arifin.
Mantan Dubes RI untuk Jepang itu menilai dengan beralih ke kendaraan listrik maka negara bisa menghemat biaya impor minyak mentah dan BBM.
Memang diakuinya, konversi dari energi fosil ke listrik menjadi sebuah tantangan yang tidak mudah.
“Mudah-mudahan kita bisa produksi komponen konversi energi listrik ini di dalam negeri sehingga juga mendorong usaha baru, pertumbuhan industri baru, dan mendorong perekonomian,” tambah Arifin.
Lebih jauh, Menteri ESDM menegaskan saat ini beban negara dalam memberikan subsidi energi, khususnya BBM sudah terlampau besar.
Dia pun mengimbau masyarakat untuk dapat menghemat konsumsi energi seperti BBM subsidi.
“Harga minyak dunia masih 100 dolar AS (per barel), beban pemerintah untuk subsidi tinggi. Ini kita himbau masyarakat untuk hemat energy,” tuturnya.
Arifin menyebut Indonesia kini menghadapi tantangan kebutuhan energi jangka panjang sehingga pemanfaatan sumber energi non fosil diharapkan bisa segera dilakukan.
Harga keekonomian Pertalite saat ini seharusnya sudah mencapai mencapai Rp 17.200 per liter dan untuk harga Solar keekonomiannya mencapai Rp 17.600 per liter.
Baca juga: Pengamat Sebut Harga BBM Non Subsidi Hanya Trik Pemerintah Redam Gejolak
Menurutnya, jumlah Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) masih sangat terbatas serta harga unit yang dijual dipasaran tidak terjangkau oleh masyarakat.
“Memang salah satu kendala kendaraan listrik terkait infrastruktur, bagaimana PLN terutama bisa meningkatkan SPKLU sehingga masyarakat bisa lebih mudah untuk melakukanpengisian,” kata Mamit.
Tren otomotif global, lanjut Mamit, kini bergerak ke arah kendaraan ramah lingkungan. Ini juga sesuai dengan target Indonesia mencapai net zero emission (NZE) atau netral karbonpada 2060.
“Kita tahu tren global ke depan sudah menuju kepada EV, baik itu mobil listrik maupun lainnya. Ini salah satu upaya kita mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai dengan komitmen
penurunan emisi karbon 29 persen pada 2030 dan bahkan kita punya target zero emission di 2060,” jelasnya.
Indonesia, imbuh Mamit, sebagai produsen nikel terbesar di dunia seyogyanya akan mendapat untung besar dari bisnis kendaraan listrik ini.