TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Tak kalah dengan negara-negara lain, Indonesia segera memiliki proyek baterai kendaraan listrik.
Industri berskala besar terintegrasi dari hulu ke hilir ini digawangi oleh PT Aneka Tambang dan Indonesia Battery Corporation (IBC).
Dua BUMN di bawah naungan Holding Pertambangan Mind ID menjalin kerja sama dengan beberapa pihak yang memiliki keunggulan di tiap sektornya.
Direktur Utama Antam, Nico Kanter menjelaskan, baru-baru ini Antam dan IBC bersama-sama berada di bawah naungan dari MIND ID menandatangani Framework Agreement atau perjanjian awal yang menjadi dasar perjanjian pengembangan industri hulu-hilir baterai kendaraan listrik.
Baca juga: Bidik Pasar ASEAN, Pabrik Baterai BYD Bangun Fasilitas Manufaktur Kendaraan Listrik di Thailand
“Perjanjian ini bukan hanya untuk membangun smelter tetapi juga turun ke katoda, prekursor, dan baterai hingga battery recycle yang rencananya akan dibangun di Indonesia” jelasnya dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR RI, Senin (12/9/2022).
Melansir catatan sebelumnya, dua Framework Agreement yang sudah ditandatangani di awal tahun ini diperkirakan total investasinya mencapai US$ 15 miliar atau setara dengan Rp 215 triliun.
Nico memerinci, framework agreement yang pertama dengan PT Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co, Ltd (CBL) perusahaan berbasis China. Nico mengatakan karena konsorsium maka harus mengikutsertakan bukan hanya yang ahli membangun pabrik tetapi juga membangun proyek prekursor dan baterai.
“Ini perusahaan nomor satu di dunia yang memproduksi baterai kendaraan listrik,” jelasnya.
Framework Agrement kedua dengan LG Energy Solution, perusahaan berbasis Korea. Nico menjelaskan, ini juga konsorsium yang terdiri dari LG Energy Solution, Huayou Holding, POSCO, dan Hyundai yang akan ada di hilirnya.
“Ini adalah konsorsium karena mereka harus menggunakan perusahaan-perusahaan yang punya expertise untuk membangun di bidang atau bagian masing-masing,” jelasnya.
Nico menjelaskan, posisi Antam akan berada di hulu industrinya. Pihaknya menandatangani Venture Agreement dengan CBL dan Contemporary Amperex Technology Co. Limited (CATL) di mana ANTM sebagai pemilik bahan baku. Dalam Joint Venture (JV) ini Antam mengempit 51 persen saham dan sisanya 49% dimiliki CBL ataupun LG.
Setelah dari hulu, akan masuk ke smelter baik itu yang menggunakan teknologi RKAF ataupun HPAL untuk mengolah bahan baku menjadi produk turunan seperti katoda dan prekursor. Di dalam JV ini, komposisi sahamnya 40% dimiliki Antam dan IBC, sisanya 60% dimiliki baik itu oleh CATL, CBL, maupun LG.
Baca juga: Apple Janjikan Baterai Sepanjang Hari untuk iPhone 14, Bisa Menonton Video hingga 20 Jam
“(Kepemilikan saham) akan semakin turun sampai ke prekursor hingga baterai nanti persentase akan makin kecil,” ungkapnya.
Setelah penandatanganan Framework Agreement, pada Agustus 2022 Antam juga telah mendapatkan restu dari pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) untuk melakukan spin off sebagian segmen usaha pertambangan nikel, termasuk pengalihan sebagian wilayah izin usaha pertambangan Antam yang berlokasi di Halmahera Timur, Maluku Utara kepada PT Nusa Karya Arindo (NKA) dan PT Sumberdaya Arindo (SDA).
“Spin off ini karena kita akan mengelola sebagian dari usaha ANTM kepada anak perusahaan. Jadi anak perusahaan ini yang dua ini, satu dengan CBL kita sebut SDA yang untuk yang dengan LG anak perusahaan itu kita namakan KSA,” ujarnya.
Adapun anak-anak usaha ini yang akan membuat joint venture dari hulu sampai hilir bersama-sama dengan IBC.
Nico berharap karena ini merupakan industri terintegrasi pertama, pihaknya sangat memohon dukungan dari DPR. “Proyek legacy yang akan berdiri di Indonesia di bidang baterai kendaraan listrik. Jadi tidak hanya lagi di stainless stell untuk turunan terakhirnya,” tandasnya.
(Arfyana Citra Rahayu/Handoyo)