Laporan Wartawan Tribunnews, Willy Widianto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebagian bahan baku pupuk saat ini masih diperoleh dari impor dan sempat mengalami permasalahan dalam pasokannya.
Adapun bahan baku yang terkendala yaitu kalium klorida atau KCl untuk produksi pupuk NPK di awal perang kawasan Eropa.
Pada kondisi normal, jumlah KCl yang diekspor adalah 41,6 juta ton setahun. Dari total tersebut 47 persen berasal dari Belarusia dan Rusia. Bisa dibayangkan jika supply dari Belarusia dan Rusia ini terganggu?
Baca juga: Ekonomi Sri Lanka Menyusut 8,4 Persen, Dipicu oleh Krisis Pupuk dan Bahan Bakar
Terkait hal tersebut Direktur Utana PT Petrokimia Gresik, Dwi Satriyo Annurogo mengatakan, demi menjaga ketahanan pangan nasional, Petrokimia Gresik menambah supply untuk pengadaan KCl dari Kanada.
"Tentu dengan harga yang reasonable," ujar Dwi Satriyo dalam pernyataan yang diterima Tribun, Sabtu(17/9/2022).
Petrokimia Gresik lanjut Dwi Satriyo juga memahami perannya dalam menjaga ketahanan pangan nasional dan meningkatkan kesejahteraan petani memiliki beberapa pendekatan, agar Indonesia keluar dari ancaman krisis pangan.
Menurutnya, Petrokimia Gresik juga berupaya meningkatkan produktivitas pertanian melalui program Agro Solution.
Program ini berupaya menciptakan ekosistem pertanian secara komprehensif, baik on farm maupun off farm, mulai dari penyediaan dana atau modal usaha yang bersinergi dengan lembaga perbankan, kemudian jaminan asuransi, ketersediaan pupuk, kawalan pengendalian hama, hingga offtaker.
“Dalam program ini Petrokimia Gresik mengedukasi penggunaan pupuk nonsubsidi. Dengan pengawalan yang baik, mampu meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani,” ujar Dwi.
Petrokimia Gresik juga melakukan transformasi digital untuk memastikan perbaikan kinerja agar kebutuhan petani bisa tercukupi dengan baik, serta pengembangan SDM pertanian dengan menggandeng sejumlah penyelenggara pendidikan sektor pertanian.
Baca juga: Maraknya Pupuk Palsu Bikin Produsen Galakkan Edukasi ke Petani Soal Manfaat Produk SNI
Ini merupakan langkah ketiga dan keempat Petrokimia Gresik berupaya mendukung pemerintah untuk keluar dari ancaman krisis pangan global.
“Petrokimia Gresik menciptakan SDM unggul pertanian dengan membuka program magang bagi mahasiswa pertanian, bekerja sama dengan tujuh Politeknik Pertanian di Indonesia untuk mendorong regenerasi di sektor pertanian,” ujar Dwi.
Sementara itu, sejalan dengan program Agro Solution Petrokimia Gresik untuk peningkatan produktivitas pertanian, Ketua Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Nasional, Yadi Sofyan Noor yang juga menjadi salah satu narasumber mengaku mendorong anggotanya untuk menggunakan pupuk nonsubsidi.
Lebih-lebih dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2022, komoditas yang berhak mendapatkan subsidi dibatasi hanya sembilan, dari sebelumnya 70 komoditas. Selain itu, subsidi pupuk juga hanya diberikan pada Urea dan Phonska saja.
Baca juga: Optimalisasi Pemanfaatan Pupuk Ber-SNI, Jamin Kualitas dan Tingkatkan Produksi Pangan Nasional
“KTNA mendukung kebijakan subsidi pupuk. Karena fokus pangan kita ada di komoditas yang sekarang memang di situ (diatur dalam Permentan 10/2022, Red),” ujarnya.
Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad berharap perubahan kebijakan pemerintah terkait pupuk subsidi tidak mengakibatkan penurunan jumlah pupuk subsidi yang diberikan kepada petani, baik volume atau jumlah sasaran.
“Kenaikan harga pupuk secara global lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan energi. Problem pertanian yang saat ini ada bukan pada supply pupuk, tapi ada pada harga. Sedangkan support pemerintah untuk subsidi masih stagnan. Dua tahun terakhir, bahkan sampai tahun depan atau tahun 2023 masih di angka Rp25 triliun,” ujarnya.
Ia pun mendorong pemerintah untuk memperbesar alokasi anggaran yang ada.
Baca juga: Program CSA Kementan Dorong Peningkatan Penggunaan Pupuk Alami
Sehingga terdapat alokasi subsidi pada pengelolaan pupuk organik yang menurutnya sangat dibutuhkan untuk keberlanjutan pertanian di Indonesia.
"Pupuk organik itu sangat diperlukan. Nyatanya memang sebagian masyarakat atau petani bisa menghasilkan pupuk organik. Tetapi kan banyak yang tidak bisa menghasilkan terutama pada petani yang berskala kecil karena mereka harus mengumpulkan kotoran hewan dan sebagainya. Saya kira itu nggak efisien. Jadi harus dipertimbangkan ruang anggaran yang lebih besar bagi organik agar bisa masuk kembali," tutup Tauhid.