Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Melonjaknya data inflasi AS, membuat investor yakin apabila Pejabat Federal Reserve akan menaikan suku bunga acuan yang lebih tinggi, mungkin 75 basis poin (bps) atau sekitar 100 bps.
Melesatnya laju pertumbuhan harga konsumen di AS terjadi karena penurunan biaya energi yang terjadi selama satu bulan terakhir, gagal untuk menstabilkan harga jasa dan makanan yang saat ini tengah melesat di rekor tertinggi.
Dengan biaya makanan meningkat 11,4 persen, sementara indeks jasa di AS melesat 0,6 persen dari tahun 2021 lalu.
Baca juga: Wall Street, Minyak hingga Emas Kompak Anjlok di Tengah Penantian Keputusan Hawkish The Fed
Tekanan inilah yang membuat Departemen Tenaga Kerja (Depnaker) AS mengumumkan kenaikan pada inflasi tahunan pada Agustus 2022 sebanyak 0,1 persen menjadi 8,3 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
Angka ini melesat lebih tinggi dari prediksi ekonom yang disurvei oleh Dow Jones, dimana sebelumnya mereka memperkirakan bahwa inflasi bulanan AS akan turun sebesar 0,1 persen.
Khawatir situasi ini semakin mendorong perlambatan ekonomi di tengah meningkatnya jumlah pengangguran di AS atau dengan kata lain stagflasi, membuat presiden dan kepala strategi investasi Yardeni Research menyarankan Fed untuk menaikkan suku bunga lanjutan pada pertemuannya di akhir September, demi mendorong turun laju inflasi di kisaran dua persen.
"Tampaknya bagi saya bahwa mereka berkomitmen untuk menaikkan suku bunga secara signifikan pada pertemuan ini minggu depan, mungkin 100 basis poin, bukan 75 basis poin,” kata Yardeni dikutip dari Market Insider.
Sikap hawkish bukanlah kali pertama yang dilakukan The Fed, bank sentral AS ini diketahui telah empat kali menaikkan fed funds rate selama tahun ini, dengan total 225 basis poin. Termasuk tiga kali kenaikan, sebesar 75 bps.
Meski The Fed belum memberikan pernyataan resmi terkait berapa banyak suku bunga acuan yang akan dikerek pada pertemuan The Federal Open Market Committee (FOMC) pekan depan tepatnya pada 20 hingga 21 September.
Namun menurut alat pengukur survey FedWatch CME Group, 84 persen pasar memperkirakan probabilitas kenaikan suku bunga bank sentral sebesar 75 basis poin. Sementara peluang peningkatan 100 basis poin hanya 16 persen.
Walaupun sikap hawkish The Fed akan memberikan dampak negatif pada sektor perekonomian di AS, namun karena adanya masalah kredibilitas dalam hal memerangi inflasi, Yardeni meyakini bahwa The Fed akan tetap memperketat kebijakan moneternya dengan terus mengerek naik suku bunga ke level tertinggi dalam beberapa bulan ke depan.