Melihat hal itu, Kamrussamad memita pemerintah siapkan antisipasi agar dampak krisis global ini tidak berdampak besar terhadap kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.
Baca juga: Pelaku Usaha Industri Asuransi Sebut Indonesia Mampu Bertahan Jika Ekonomi Global Mengalami Resesi
"Risiko gagal bayar atau spread swap default Credit Suisse telah mencapai level tertinggi selama satu dekade terakhr pada Jumat pekan lalu. Hal ini lah yang menyebabkan harga sahamnya jatuh 60% sejak awal tahun. Jadi, ini tidak bisa dipandang main-main," tuturnya.
Ia menyebut, apa yang terjadi dengan Credit Suisse saat ini, bisa menjadi pemicu krisis keuangan global.
"Inilah yang terjadi 2008, ketika Lehman Brothers, salah satu bank investasi terbesar keempat di Amerika Serikat jatuh pailit dengan utang senilai US$ 613 miliar. Krisis ini merusak sistem perekonomian bukan hanya di AS sebagai negara tempat sumber krisis melainkan meluas ke Eropa dan Asia termasuk Indonesia," katanya.
Belajar dari krisis finansial global 2008, kata Kamrussamad, Komite Stabilitas Sistem Keuangan
(KSSK) harus antisipasi banyak aspek.
Di sisi eksternal, neraca pembayaran Indonesia mengalami peningkatan defisit, nilai tukar rupiah mengalami pelemahan signifikan.
Di pasar keuangan, selisih risiko (risk spread) dari surat-surat berharga Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan yang mendorong arus modal keluar dari investasi asing di bursa saham, Surat Utang Negara (SUN), dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Ajak Kolaborasi
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia melihat bahwa kondisi perekonomian global yang kian memburuk bakal mengancam kinerja perusahaan-perusahaan di dunia, termasuk Indonesia.
Ketua Umum Kadin, Arsjad Rasjid mengatakan, melambatnya pertumbuhan ekonomi di dunia disebabkan oleh berbagai faktor.
Salah satunya ketegangan politik antara Rusia-Ukraina, yang menyebabkan permasalahan pada rantai pasok global.
Hal ini menyebabkan krisis pangan, energi, dan ekonomi.
"Kita masih terus harus waspada. Saat ini kita tengah menghadapi ketidakpastian ekonomi global mulai dari konflik Ukraina Rusia yang masih berlanjut, yang berdampak pada inflasi dan juga gangguan terhadap rantai pasok," ucap Arsjad.
"Di sisi lain pertumbuhan ekonomi global akan melambat tahun ini dari 5,7 persen menjadi 2,9 persen. Dan ini berpotensi menurunkan permintaan dan omset perusahaan," sambungnya.