Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK – Lembaga riset asal Amerika Serikat, Ned Davis Research, menyerukan peringatan akan adanya resesi ekonomi global di tahun 2023 dengan probabilitas atau pelung terjadi mencapai 98 persen.
Resesi ini akan jadi yang terburuk, melebihi resesi ekonomi akibat pandemi pada 2020 lalu serta krisis keuangan global selama 2008 hingga 2009 silam.
Perlambatan ekonomi mulai terjadi setelah sejumlah bank sentral dunia memperketat kebijakan moneternya dengan mengerek naik suku bunga ke level tertinggi.
The Fed misalnya, bank sentral Amerika ini diketahui telah mengerek naik Fed Fund Rate sebanyak lima kali dengan total 300 basis poin.
Langkah agresif ini diambil untuk menjangkar ekspektasi inflasi inti akibat kenaikan BBM nonsubsidi dan harga pangan.
Namun kebijakan pre-emptive dan forward looking yang dilakukan The Fed dengan memacu suku bunga, perlahan mendorong penguatan nilai pada dolar AS hingga membuat berbagai mata uang seperti euro, yuan, yen jatuh ke level terendah.
Kondisi ini dikhawatirkan dapat memicu terjadinya gejolak ekonomi khususnya di negara-negara berpenghasilan rendah, akibat melonjaknya harga impor pada berbagai kebutuhan pokok.
Baca juga: Indonesia Dihantui Resesi Ekonomi Global, Kadin: Perusahaan Kelas Kakap hingga UMKM Rentan Terdampak
Adanya penguatan greenback juga dapat membuat Wall Street bergerak tidak stabil, menurut perkiraan ekonom Morgan Stanley, setiap dolar naik 1 persen akan memberikan dampak negatif sebesar 0,5 persen pada pendapatan saham bisnis dari S&P 500.
Mengingat sebelumnya indeks Dow Jones Industrial Average telah tenggelam selama perdagangan Senin (2/10/2022) dengan melesat jatuh untuk pertama kalinya sejak Maret 2020.
Baca juga: Analis: Ekonomi Global 2023 dalam Bayang-bayang Resesi dan Ancaman Stagflasi
Pengetatan suku bunga tak hanya membuat pasar saham ambrol, kebijakan ini juga perlahan mematikan mesin penggerak ekonomi AS. Hal itu ditandai dengan menurunnya aktivitas belanja kebutuhan pokok seperti makanan dan perumahan.
Hal itu dipicu oleh kenaikan harga di berbagai aspek, namun sayangnya lonjakan harga ini tidak diikuti oleh kenaikan upah. Alasan tersebut yang membuat daya beli masyarakat mengalami penurunan hingga membuat pendapatan negara menyusut.
Suku bunga yang tinggi juga mendorong kenaikan bunga kredit hingga membuat sektor bisnis sulit tumbuh.
Imbasnya sejumlah perusahaan terpaksa melakukan pemangkasan karyawan demi mengurangi pembengkakan kerugian ditengah inflasi.
Baca juga: Ekonomi Global Terkontraksi, Sejumlah Negara Ini Terancam Masuk ke Jurang Resesi
Munculnya aksi PHK massal ini yang kemudian membuat beban suatu negara meningkat, karena terdorong lonjakan angka pengangguran. Mengingat kehadiran perusahaan menjadi salah satu penentu arah ekonomi suatu negara.
Tingkat pengangguran di AS per September 2022 telah mendekati level terendah sejak 1969, meski risiko resesi meningkat akan tetapi para peneliti Ned Davis mengatakan saat ini model probabilitas resesi di AS masih pada level terendah.
"Kami tidak memiliki bukti konklusif bahwa AS saat ini dalam resesi," tulis para peneliti Ned Davis dalam laporannya.
Kendati demikian para investor diperingatkan untuk tetap waspada mengingat ancaman resesi dapat mendorong munculnya kemiskinan parah pada suatu negara.