News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Digitalisasi Produk Rotan, Hidupkan Secercah Asa Masyarakat Pedalaman Kalimantan

Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Produk fesyen dan aksesoriss Handep dari bahan baku rotan Kalimantan.

Randi memberikan highlight pada beberapa isu lingkungan yang ia anggap sangat penting dan sesuai dengan misi brandnya yang concern terhadap isu keberlanjutan.

Ia membeberkan sederet strategi Handep untuk menyelesaikan masalah yang kini masih menjadi fokus masyarakat adat.

"Sebenarnya ada beberapa layer yang menurut aku sangat penting ya, strategi bisnis di Handep untuk fokus ke masalah mereka (masyarakat adat), itu yang pertama secara ekonomi," kata Randi.

Yang pertama adalah terkait isu kesejahteraan ekonomi mereka yang sebenarnya berasal dari Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di hutan.

Namun ternyata ada isu yang harus mereka perhatikan, yakni keberlanjutan.

Material kayu pohon yang dapat mereka gunakan sebagai produk kerajinan tangan tentunya bersifat ekologis, namun perlu dilihat jufa 'dari mana' kayu-kayu itu diperoleh, mungkin saja berasal dari hutan yang dieksploitasi secara tidak berkelanjutan.

Menurut Randi, opsi untuk memperoleh kayu di kawasan yang tengah ia berdayakan sangat terbatas.

Ia menekankan bahwa jika kayu diambil dari hutan yang ada di sana, maka akan sangat erat kaitannya dengan deforestasi, ini terjadi akibat sederet bisnis yang mampu merusak lingkungan.

"Option-option untuk labelling wood yang ada di pedesaan itu sangat terbatas kepada yang sifatnya ekstraktif seperti palm oil, tambang, logging dan traditional gold mining juga, yang mana ini semua kalau dilihat dari aspek sustainability-nya sangat buruk untuk lingkungan ya, khususnya terkait isu deforestasi dan kerusakan lingkungan," tegas Randi.

Handep menawarkan alternatif bahan baku kerajinan tangan yang bisa digunakan secara berkelanjutan oleh masyarakat adat sehingga ekonomi mereka tidak harus mengandalkan usaha yang bersifat ekstraktif yang erat kaitannya dengan isu deforestasi.

Karena masyarakat adat ini bisa memilih alternatif SDA yang juga memiliki unsur kearifan lokal namun tetap tidak merusak lingkungan, yakni melalui penggunaan bahan baku rotan.

"Kita akhirnya berikan alternatif labelling yang bersifar sustainable untuk mereka. Jadi tidak semua harus tentang yang sifatnya ekstraktif, tapi ada juga lebih berkearifan lokal, terus juga dari segi keberlangsungan lingkungannya juga bagus, dengan pakai product-product yang mayoritasnya terbuat dari rotan," tutur Randi.

Opsi tersebut ia anggap sangat penting karena dalam menjalani kehidupan ekonomi, masyarakat adat kini memiliki alternatif material produk yang ramah lingkungan dan mereka juga bisa menghentikan pekerjaan yang selama ini bersifat ekstraktif dan berpotensi merusak lingkungan seperti tambang emas hingga logging.

"Secara ekonomi, menurut aku penting banget ya opsi-opsi ini, karena yang pertama, mereka punya opsi lain yang lebih sustainable, mereka juga bisa punya plan lain dan bisa keluar dari industri yang sifatnya sangat ekstraktif," papar Randi.

Karena selama ini yang menjadi concern banyak pihak adalah aksi deforestasi di Borneo Kalimantan, namun mereka tidak melihat lebih jauh terkait isu ini bersumber dari mana.

\"Karena sejauh ini kan orang membahas tentang sustainability, membahas tentang isu itu, deforestasi di Borneo Kalimantan. Tapi mereka jarang melihat lebih dalam ke masalah utamanya itu ada di mana, kayak akar dari masalahnya itu di mana?," tegas Randi.

Selain fokus pada alternatif mata pencaharian masyarakat adat agar tidak merusak lingkungan, Handep juga mendukung mereka untuk bisa memperoleh hak hukum terhadap pengelolaan hutan adat di kawasan itu.

"Ekonomi itu pasti yang pertama, yang kedua, apa yang brand kami lakukan adalah kita mensupport indegineous people, orang-orang Dayak ini untuk bisa dapat hak hukum atas hutan adat mereka, kami mengadvokasi legalitasnya," jelas Randi.

Mirisnya, kata dia, hutan adat atau hutan masyarakat yang bersifat komunal di sana masih tidak ada 'legal papernya'.

"Dan ini sangat sulit kalau kita bicara tentang politik ekonomi di Indonesia untuk bisa memberikan legal certainty untuk masyarakat adat. Kita biasanya support komunitas yang bekerja sama dengan itu untuk bisa bagaimana caranya mereka mendapatkan akses untuk pengakuan atas hutan adat atau hutan komunalnya mereka," kata Randi.

Menariknya, Randi menuturkan bahwa Handep juga memiliki program lainnya yang juga berfokus ada isu keberlanjutan, yakni 'one purchase, one tree'.

Ini mengindikasikan bahwa setiap pembelian produk mereka per item, akan ada budget yang secara otomatis dialokasikan untuk menanam satu pohon.

"Yang ketiga adalah dari setiap produk kita, kita ada program 'one purchase, one tree', jadi setiap product kita yang terjual, itu sudah ada budget untuk menanam satu pohon," tutur Randi.

Pohon yang akan ditanam itu, kata dia, tentunya berlokasi di hutan Kalimantan karena ia memiliki ikatan yang kuat dengan tanah kelahirannya itu.

"Dan di mana kita menanamnya? Di Kalimantan, karena aku sebagai orang yang lahir dan besar di Kalimantan, i really love kalimantan, karena ini merupakan rumah bagi hutan hujan terbesar kedua yang tersisa setelah Amazon. Aku pikir langkah ini sangat penting untuk cadangan hutan kita yang tersisa," tegas Randi.

Terkait detail lokasi penanamannya, Randi menekankan bahwa Handep menanam pohon-pohon itu di lahan pribadi milik masyarakat adat, lantaran dapat dipastikan terjaga kelestariannya jika dibandingkan hutan adat.

"Terkait lokasi di mana kita tanam, kita tanamnya biasa di lahan atau kebun milik pribadi masyarakat. Kenapa? Karena itu kepastian payung hukumnya lebih jelas, bukan di hutan desa atau hutan adat atau hutan jenis-jenis lain. karena biasanya setiap tahun pasti terjadi konversi ke sawit, tambang dan lain-lain," tegas Randi.

Randi menegaskan bahwa Handep tidak ingin apa yang telah mereka coba untuk lestarikan, secara tiba-tiba diklaim oleh pihak lain.

"Jadi kita nggak mau tiba-tiba nanti apa yang telah kita tanam tiba-tiba diakuisisi dan dikonversi begitu saja," jelas Randi.

Selain itu, Handep juga secara konsisten membangun kesadaran dan pengetahuan masyarakat adat terkait pentingnya menjaga hutan dan menjaga kelestarian budaya mereka.

"Last but not least, kita juga membangun kapasitas komunitasnya ya, jadi kita bangun kesadaran dan pengetahuan mereka terkait pentingnya hutan. Terus pentingnya menjaga budaya tradisional mereka agar tetap hidup, kita juga lakukan secara konsisten kalau di Handep," tutur Randi.

Memberdayakan Masyarakat Adat melalui Pemanfaatan Rotan yang Melimpah 

Dalam pembuatan produk aksesoris fashion dan home decor yang menjadi concern brandnya, Randi menjelaskan bahwa sejak awal Handep tidak menetapkan mau membuat produk tertentu.Karena jenis produk kerajinan tangan yang diproduksi Handep berasal dari apa yang terjadi atau dialami masyarakat adat di desa-desa yang diberdayakan.

"Sebenarnya aku itu tidak product driven ya, jadi di awal kita menentukan jenis produk apa yang mau kita kembangkan, itu kita nggak memutuskan di awal, tapi prosesnya sangat mendasar dan partisipatif dengan masyarakat di desa," jelas Randi.

Handep berupaya untuk mengenali terlebih dahulu SDA apa yang sangat potensial di kawasan itu, begitu pula dengan potensi masyarakat adatnya terkait 'apa yang bisa mereka lakukan'.

Setelah melakukan sedikit observasi, maka akhirnya diketahui bahwa rotan menjadi bahan baku alami yang sangat potensial untuk diolah karena jumlahnya yang sangat melimpah di Kalimantan dan tidak merusak lingkungan.

"Jadi kita identify, kita survey what is the biggest potentials in term of natural resources dan juga human capitalnya, dan ternyata yang paling potensial itu adalah rotan. Rotan ini sangat melimpah ya di Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah itu penghasil rotan terbesar se-Indonesia dan dunia,' papar Randi.

Selain itu, Handep juga melihat kaum perempuan di Kalimantan memiliki potensi besar dalam mengolah produk kerajinan bernilai ekonomi yang berasal dari bahan baku rotan.

"Kita menilai potensi SDM-nya ternyata banyak perempuan-perempuan yang luar biasa bisa membuat kerajinan dari rotan. Dan yang sering mereka buat bentuknya adalah aksesoris fashion kayak tas dan juga home decor ya," tutur Randi.

Berdasar pada pertimbangan mengenai potensi melimpah dari rotan dan keahlian para perempuan Dayak dalam mengolah bahan baku alami ini menjadi aksesoris fashion dan home decor itulah, Randi memutuskan untuk mengembangkan produk kerajinan tangan itu.

Karena menurutnya, masyarakat yang hidup di pedesaan maupun pedalaman belum siap untuk beradaptasi untuk mengadopsi hal baru lainnya. 

"Jadi karena kita ngelihat di situ potensinya paling besar dan kita nggak mau mulai sesuatu yang terlalu baru, karena orang-orang di desa kan juga tidak se-ready kita untuk beradaptasi ya, akhirnya kita mutusin 'oke kita develop rotan dengan product aksesoris fashion dan home decor'," tegas Randi.

Randi menjelaskan alasan memilih untuk fokus pada pembuatan aksesoris fashion, hal itu karena keahlian masyarakat adat di sana dan SDA yang melimpah tentunya sangat mendukung.

Selain itu, aksesoris fashion juga merupakan jenis produk yang bernilai tinggi, baik secara ekonomi maupun seni.

Sehingga turut berkontribusi pula terhadap keberlangsungan ekonomi masyarakat adat di sana.

"Tapi mostly aksesoris fashion, kenapa? Karena skillnya ada di sana, sumber daya alamnya udah ada di sana, dan kalau kita bicara aksesoris fashion, ini termasuk high value product. Dan tentu saja ini berkontribusi sangat positif untuk perekonomian masyarakat di desa yang bermitra dengan Handep," tegas Randi.

Pada titik itulah akhirnya Handep memutuskan untuk fokus pada pembuatan dua jenis produk saja, yakni aksesoris fashion dan home decor.

"Di situlah kita akhirnya menspesialisasikan diri di aksesoris fashion dan home decor," jelas Randi.

Produk yang diproduksi Handep, kata dia, kini telah memenuhi standard kualitas ekspor dan telah dikirim ke Jepang dan Eropa yang memang sangat minat dengan produk kerajinan tangan.

"Jika melihat produk kita, ini memang nggak mudah sih untuk membangun standard kualitas yang bagus ya, tapi kalau dicek product kita standardnya udah masuk ekspor dan kita telah mengeskpor produk ini ke Jepang, Eropa juga, yang memang sangat mengapresiasi product-product yang kraft ya ataupun yang handmade," tutur Randi.

Ia mengakui, tentunya melewati proses yang panjang untuk bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat di desa bahwa 'jika kita menciptakan produk berkualitas tinggi, kita juga akan menciptakan pendapatan yang lebih baik.'

"Itu prosesnya juga nggak cuma beberapa bulan, tapi setahun dua tahun untuk bisa achieve quality standards (mencapai standard kualitas) yang kita mau," kata Randi.

Proyek selanjutnya, Handep Melebarkan Sayap Bisnis Sustainable ini dengan Melirik Sektor Industri Bahan Baku Rotan

Randi menjelaskan bahwa brandnya memang tengah mencoba membangun lini bisnis barunya yang berfokus pada bidang supply bahan baku rotan.

"Kedepannya sebenarnya kita sekarang lagi building our new business line ya, di mana kami jadi supplier bahan baku rotan," jelas Randi.

Hal itu karena Handep melihat potensi besar pada melimpahnya rotan di Kalimantan Tengah (Kalteng) dan kecenderungan konsumen luar negeri yang lebih menyukai produk rotan dibandingkan dengan furniture maupun kerajinan tangan yang terbuat dari kayu yang identik dengan deforestasi dan tidak berkelanjutan.

"Kenapa? Karena Kalteng itu potensinya besar banget dan rotan ini kan high value product, dan sekarang lagi on trend banget kayak pasar Eropa maunya furniturenya dari rotan ketimbang kayu. Karena kalau kayu, pasti kita menggundulkan hutan, nah rotan adalah alternatif yang sangat sustainable sebagai pengganti kayu," papar Randi.

Melihat potensi rotan yang sangat luar biasa di Kalimantan Tengah, Randi berambisi untuk bisa mensupply komoditas satu ini ke berbagai pabrik di seluruh Indonesia dan tentunya brand-brand yang menggunakan material satu ini sebagai bahan baku produknya.

"Dengan fakta Kalimantan Tengah sebagai penghasil rotan paling besar, kita pengen jadi supplier bahan baku rotan untuk brand-brand se-Indonesia dan juga pabrik-pabrik yang ada di Indonesia. Jadi mereka bisa sourcing rotan dari kita," kata Randi.

Tidak hanya itu, misi selanjutnya yang ingin ia lakukan adalah memberdayakan para petani rotan, sehingga ia dapat berkontribusi pada aspek hulu hingga hilirisasinya.

"Dan ini harapannya kita bisa meng-create impact yang lebih besar lagi, nggak cuma untuk pengrajin, tapi juga petani rotannya secara menyeluruh," papar Randi.

Terkait kerja sama dengan brand internasional, saat ini Handep tengah menjalankan proyek eksklusif dengan perusahaan Jerman 'Out for Space' yang menggunakan material rotan dalam pengolahan produknya.

Menariknya, saat ini pemanfaatan rotan lebih meluas sebagai material bahan baku pembuatan papan surfing hingga interior mobil, ini merupakan inovasi produk yang dapat dijadikan inspirasi bagi brand yang fokus pada penggunaan bahan baku satu ini.

"Dan ini sudah kita mulai jalankan sebenarnya di tahun ini dan udah ada exclusive project juga sama perusahaan dari Jerman, namanya out for space. Kita lagi ngetrial jadi supplier bahan baku rotan buat mereka, can you imagine kayak rotan itu sekarang digunakan jadi panel-panel interior mobil, surfing board, terus panel-panel buat interior rumah dan office (kantor). Jadi benar-benar high value lah," tutur Randi.

'Jatuh Bangun' Menjalani Bisnis Sustainable fashion

Dalam setiap bisnis, tentunya ada momen di mana para pelaku usahanya mengalami 'jatuh bangun' atau up and down, tidak terkecuali Handep.

Randi menjelaskan momen sulit yang telah dialami brandnya selama menjalani bisnis ini beberapa tahun terakhir.

Menurutnya, jika dilihat secara geografis, untuk mengakses masyarakat adat yang bermitra dengan Handep di pedalaman Kalimantan Tengah itu sangat sulit.

Bahkan bagi orang yang datang dari Jakarta dan ingin menyambangi lokasi desa binaan Handep, membutuhkan waktu sekitar 2 hari.

"Aku sebenarnya seneng banget kalau bicara up and down ya, working with community khususnya di desa-desa terpencil, komunitas yang kita rangkul itu, bisa anda bayangkan jika anda dari Jakarta, harus ke Palangkaraya dulu kan ibu kota Kalimantan Tengah. So it will takes dua hari untuk sampai di desa-desa binaan kami saking terpencilnya, jadi secara geografis emang itu nggak mudah ya," tegas Randi.

Karena desa binaan tersebut terletak di wilayah terpencil, maka tentunya sulit untuk mengakses wilayah ini, sehingga masyarakatnya hidup dengan keterbatasan, mulai dari jalan yang rusak hingga krisis air bersih.

"Lalu infrastruktur, jalan rusak, off road, sinyal nggak ada, listrik pun nggak ada, apalagi internet, akses ke air bersih aja susah sekarang," tutur Randi.

Bahkan mayoritas masyarakatnya hanya merupakan lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP), sehingga literasi yang mereka miliki tentu sangat minim.

Inilah yang menjadi tantangan Handep untuk bisa memberdayakan mereka demi mendapatkan kesempatan memiliki ekonomi yang lebih baik.

"Jadi bekerja dengan komunitas yang sangat sangat under privilege atau under serve ini tantangannya luar biasa, plus majoritynya hanya lulusan SMP. Kalau perempuan bahkan lebih parah, hanya lulus SD, jadi level of literacynya juga nggak terlalu bagus," kata Randi.

Handep pun berkomitmen untuk bisa mendukung dan meningkatkan kualitas hidup mereka melalui berbagai pelatihan dan pemberian pemahaman.

Randi menyadari bahwa tantangan ini merupakan bagian dari dinamika bisnis yang harus dihadapi brandnya.

"Tapi memang kita punya tujuan yang very positive untuk bisa mensupport dan meningkatkan kualitas hidup orang-orang ini. Jadi semua tantangan ini adalah bagian dari bisnis, kayak dinamikanya pasti selalu seperti itu," jelas Randi.

Sementara itu terkait infrastruktur di desa binaan Handep, kata dia, ini berkaitan dengan alasan 'mengapa produk Handep memiliki harga yang cukup mahal'.

Hal itu karena rantai pasokan (supply chain) yang sangat panjang, mulai dari pedalaman hingga pendistribusian ke berbagai tempat di Indonesia maupun luar negeri membutuhkan proses pengiriman yang cukup lama.

"Kalau kita bicara infrastruktur tadi, makanya di handep itu kenapa kita jual productnya dengan price range-nya yang mid to up, karena supply chain atau rantai pasok kita panjang. Dari pedalaman, ke ibu kota kecamatan, ibu kota kabupaten, ibu kota provinsi, lalu kita sebarkan ke berbagai tempat di Indonesia dan ke luar negeri," tutur Randi.

Proses rantai pasok yang rumit inilah yang menjadi alasan mengapa produk Handep memiliki harga yang cukup mahal.

"It's very very long dan operational cost kita jadinya tinggi, makanya saat orang-orang bertanya ke aku 'kenapa produk kamu ini mahal?', ya ini salah satu alasannya," papar Randi.

Selain itu, menurutnya, produk yang dibuat dari keterampilan tangan secara manual dan memiliki kerumitan, tentunya harus mendapatkan apresiasi dengan harga yang cukup tinggi.

Ia kembali menegaskan bahwa infrastruktur yang memadai di suatu wilayah, tentunya dapat berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi masyarakat sekitarnya.

"Aku pikir untuk product handmade harus dihargai cukup tinggi ya, karena prosesnya susah dan segala macam, yang ingin saya katakan adalah 'ekonomi lokal hanya bisa tumbuh, jika infrastruktur lokalnya cukup memadai'," kata Randi.

Karena ia melihat sendiri bahwa banyak desa di pedalaman Kalimantan yang belum memiliki infrastruktur yang memadai.

"Bayangin, banyak banget desa-desa yang nggak terkoneksi jalan darat, masih lewat sungai, lewat danau, dan ini sangat mahal ya, karena kan minyak sekarang lagi naik dan segala macam. Jadi sangat menantang, tapi kita menikmatinya dan kita menyadari bahwa ini adalah bagian dari dinamika dalam berbisnis," pungkas Randi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini