News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Soal Aturan Check In di Hotel Dipenjara, Pengusaha Hotel Meradang

Editor: Muhammad Zulfikar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran. Pembahasan Rancangan Undang - Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait pasal perzinaan menuai kontroversi. Hal tersebut saat muncul aturan bahwa pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak kategori II atau mencapai Rp 10 juta bagi mereka yang belum menikah ketahuan check in di hotel.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembahasan Rancangan Undang - Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait pasal perzinaan menuai kontroversi.

Hal tersebut saat muncul aturan bahwa pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak kategori II atau mencapai Rp 10 juta bagi mereka yang belum menikah ketahuan check in di hotel.

Aturan tersebut membuat pengusaha hotel meradang. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan jika aturan tersebut disahkan, maka kondisi membawa bukti pasangan legal seperti itu nantinya diperlukan karena berpeluang kena hukum pidana.

Baca juga: Pasangan Check In Hotel Belum Nikah Dipidana, GIPI: Harus Jelas, Nanti Orang Enggan Bisnis Hotel

"Itu karena bagaimanapun orang yang menginap berpotensi ada pidana. Karena itu, kita berharap masalah pasal ini masuk ranah privat, masalah moral, bukan pidana karena kita lihat semua negara punya aturan beda-beda yang akan berdampak ke industri pariwisata," katanya kepada Tribun, Minggu (23/10/2022).

Lebih lanjut, Yusran menambahkan, bahwa masalah terkait perzinahan sebenarnya juga telah diatur oleh pemerintah daerah masing-masing.

"Kita sekarang gini, masalah perzinahan masing-masing daerah sudah punya aturan main sendiri. Tidak usah ranah pidana, misal pemda melalui Satpol PP dan seterusnya," ujarnya.

Pasal tersebut lanjut Yusran dinilainya bakal berdampak terhadap pemulihan ekonomi di sektor pariwisata khususnya perhotelan yang sebenarnya saat ini sudah mulai membaik.

Ia mengatakan, tingkat keterisian atau okupansi hotel saat ini sudah lebih baik dibanding 2020 dan 2021, di mana ada pembatasan mobilitas akibat pandemi Covid-19.

Baca juga: PHRI Minta Pasangan Belum Nikah Check In di Hotel Tak Masuk Ranah Pidana: Ganggu Industri Pariwisata

"Okupansi hotel 2021 ada peningkatan karena pada 2020 dan 2021 kondisinya PPKM. Kalau tahun 2022, sudah tidak ada pembatasan, termasuk cost of traveling contohnya test Covid-19," ujarnya.
Saat ini kata Yusran tingkat keterisian sudah melebihi 40 persen meski belum setara dengan sebelum ada pandemi. "Rata-rata okupansi sampai bulan ini 44 persen. Kalau sebelum Covid-19 pada 2019 sekira 56 persen," katanya.

Sementara dari sisi makro dengan segala macam dinamika tantangan mulai dari kenaikan harga hingga ancaman resesi global turut mewarnai bisnis hotel tahun depan. Kendati demikian, Yusran mengaku tetap ada optimisme untuk sektor pariwisata karena didukung wisatawan domestik yang angkanya besar.

Dengan demikian, wisatawan domestik diharapkan jadi penopang bisnis perhotelan pada 2023, sebagai satu di antara strategi menghadapi tantangan resesi global. Namun, dia menambahkan, jangan sampai ada peraturan yang menghambat pemulihan bisnis di sektor pariwisata seperti wacana check in tidak nikah bisa kena pidana.

"Kita harap jangan ada tantangan-tantangan lagi seperti RKUHP, walaupun delik aduan tidak perlu masuk ranah pidana. Sementara, kalau hotel syariah dikembangkan silakan, tapi tidak seluruh Indonesia karena Indonesia beragam, jangan semua disyariahkan," pungkasnya.

Pindah ke Apartemen

Wakil Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Sudrajat mengatakan, rancangan aturan tersebut harus lebih jelas karena jika menginap di hotel bisa dipermasalahkan, maka tamu dapat beralih ke apartemen.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini