TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Kebijakan Publik dan Transportasi Bambang Haryo Soekartono tidak sepaham dan sangat prihatin kebijakan yang sudah dibuat Menteri Perhubungan yang menetapkan Keputusan Menteri Nomor KM 184 Tahun 2022 tentang Tarif Penyelenggaraan Angkutan Kelas Ekonomi Lintas Antarprovinsi dan Lintas Antarnegara.
Bambang Haryo menilai keputusan itu tidak sesuai dengan besaran tarif angkutan penyeberangan yang telah dihitung bersama stakeholder perhubungan dengan melibatkan Perwakilan Konsumen (YLKI), Gapasdap, PT. ASDP, dan Jasa Raharja.
Bambang Haryo menilai hal ini juga tidak sesuai dengan PM 66 Tahun 2019 tentang Mekanisme dan Formulasi Tarif Angkutan Penyeberangan.
Anggota DPR RI Periode 2014-2019 ini mengatakan sebagaimana telah dihitung pada tahun 2019, saat itu tarif angkutan penyeberangan lintas antar provinsi tertinggal sebesar 35,4 persen.
Baca juga: Ada Perubahan Tarif Penyeberangan ASDP Mulai 1 Oktober 2022, Cek Rinciannya di 52 Lintasannya
Setelah penyesuaian tarif terakhir di tahun 2020, saat itu tarif tertinggal jauh dari break-even point.
"Ini mengakibatkan operasional angkutan penyeberangan antar provinsi mengalami kesulitan untuk memenuhi standarisasi keselamatan dan kenyamanan pelayaran," kata BHS, sapaan akrab Bambang Haryo, Selasa (1/11/2022).
Oleh sebab itu, dia mengatakan para operator angkutan penyeberangan yang mengalami kesulitan terpaksa melakukan ajang tawar menawar standarisasi keselamatan dengan oknum pemerintah untuk melakukan tidak melaksanakan regulasi keselamatan maupun kenyamanan pelayaran yang sudah di standarisasikan.
"Dan ini tentu akan sangat membahayakan keselamatan publik yang menggunakan angkutan penyeberangan," tutur Bambang Haryo.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jawa Timur ini mengatakan angkutan penyeberangan bisa dikatakan tidak bisa menjamin keselamatan dan kenyamanan pelayaran.
Dan yang lebih mengenaskan, kata dia, beberapa perusahaan bahkan ada yang sulit memberikan gaji karyawan secara tepat waktu dan jumlah.
"Maka sumber daya manusia tersebut tentu sangat membahayakan terhadap operasional kapal karena kondisi kesejahteraannya sangat memprihatinkan. Dan bahkan ada perusahaan penyeberangan besar yang bangkrut dan diakuisisi oleh perusahaan milik negara baru baru ini," tuturnya.
Menurut Bambang Haryo ini lebih diperparah dengan kenaikan harga BBM Subsidi sebesar 32% yang belum direspon oleh pemerintah dengan perubahan tarif yang memadai.
"Sehingga perbedaan menuju break-even point menjadi lebih besar karena realisasi tarif hanya naik sebesar 11% di keputusan menteri nomor KM 184 tahun 2022, berbeda dengan respon kementerian perhubungan terhadap moda transportasi darat lainnya dengan menyetujui kenaikan tarif rata rata berkisar 25% sampai 40% baik logistik maupun penumpang," katanya.
"Dan bahkan membiarkan mereka untuk menaikkan tarif diatas 50% satu hari setelah kenaikan BBM subsidi," ujaf Bambang Haryo menambahkan.