TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perusahaan minyak dan gas (migas) dinilai dalam melakukan upaya dekarbonisasi lebih banyak aksi di hulu, padahal kontribusi emisi karbon mayoritas berada di sisi hilir.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov mengungkapkan, perusahaan migas di Indonesia lebih banyak melakukan agenda dekarbonisasi di sisi hulu.
Upaya yang dilakukan di hulu membutuhkan biaya investasi yang cukup besar, namun impact yang tidak signifikan.
Baca juga: Tekan 70 % Emisi Karbon, Pengamat Sebut Pertamina RD Bukti Komitmen dalam Roadmap NZE
"Selama ini terkesan, perusahaan migas hanya fokus pada dekarbonisasi di hulu. Captive Area ini relatif lebih mudah dikendalikan oleh internal korporasi, sebagai contoh pemanfaatan Carbon Capture Storage (CCS) atau Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS). Padahal, komitmen sebenarnya yang paling efektif dalam mendukung target net zero emission ada pada emisi yang dihasilkan dari produk perusahaan," ujar Abra yang dikutip dari Kontan, Kamis (10/11/2022).
Menurutnya, dalam standar internasional (Green House Gas Protocol) emisi dibagi ke dalam tiga cakupan.
Cakupan pertama, emisi yang dihasilkan langsung dari proses produksi BBM.
Cakupan kedua, emisi yang dihasilkan dari pembelian energi atas produksi BBM.
Terakhir, cakupan ketiga adalah emisi yang dihasilkan dari produk akhir, dalam hal ini emisi dari BBM yang dijual ke masyarakat.
"Artinya, melihat dampak langsung dari pengurangan emisi ini mestinya perusahaan migas bertanggung jawab lebih dalam menggarap transisi energi di scope tiga," lanjut Abra.
Abra menyebut, hasil emisi yang dihasilkan dari sisi hilir jauh lebih banyak.
Jika secara business as usual, emisi karbon di sektor transportasi bisa mencapai 1,1 juta ton CO2 pada 2030 mendatang.
"Kalau ini bisa direduksi dan digarap serius justru potensi penurunan emisi karbon terbesar di Indonesia bisa dilakukan," pungkas Abra. (Filemon Agung/Kontan)