"Selama ini yang kami lihat, negara-negara industri produsen kendaraan listrik melakukan proteksi. Akibatnya, negara penghasil bahan baku baterai tidak memperoleh pemanfaatan nilai tambah yang optimal dari industri kendaraan listrik," kata Bahlil dalam keterangannya, Rabu (16/11/2022).
"Melalui kolaborasi tersebut, kita harap semua negara penghasil nikel bisa mendapat keuntungan melalui penciptaan nilai tambah yang merata," sambungnya.
Di sisi lain, Bahlil Lahadalia melalui forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT), mengajak pemerintah Australia untuk turut serta mendukung pengembangan hilirisasi investasi.
Menurut Bahlil, saat ini merupakan momentum yang tepat bagi Indonesia dan Australia untuk memperkuat hubungan perekonomian, khususnya dalam hal investasi.
"Ini merupakan sebuah peluang besar yang dapat dijajaki antara Indonesia dengan Australia dengan konsep saling menguntungkan dalam rangka meningkatkan perekonomian kedua negara," ujar Bahlil dalam keterangannya, Rabu (16/11/2022).
Bahlil menjelaskan, Indonesia berkomitmen mendorong investasi hijau yang ramah lingkungan dan berkelanjutan melalui pengembangan ekosistem industri kendaraan listrik yang terintegrasi.
Terlebih Indonesia dan Australia memiliki kekuatan di sektor pertambangan, di mana Australia memiliki keunggulan sebagai penghasil lithium terbesar di dunia.
"Indonesia memiliki pasar yang besar dalam industri kendaraan listrik dengan pemain-pemain global besar yang sudah berinvestasi seperti LG, Foxconn, CATL," tuturnya.
Bahlil berujar, 40 persen komponen kendaraan listrik adalah baterai. Sedangkan, bahan baku penting dalam baterai yaitu nikel, mangan, cobalt, dan lithium. Adapun bahan baku lithium merupakan bahan mineral yang tidak dimiliki oleh Indonesia.