Sebelum mengalami kemunduran, raksasa teknologi ini sempat meraup keuntungan yang fantastis selama pandemi terlebih setelah pihaknya meluncurkan beberapa strategi penjualan seperti pemanfaatan layanan cloud computing.
Saking banyaknya konsumen yang berbondong-bondong melakukan belanja online di Amazon, perusahaan ini bahkan menggandakan tenaga kerjanya selama dua tahun terakhir.
Namun setelah perang antara Rusia dan Ukraina mencuat pada awal tahun ini, sektor perekonomian dunia perlahan mengalami guncangan.
Kondisi tersebut bahkan memicu timbulnya gejolak pada sejumlah bisnis teknologi, hingga Amazon mengalami perlambatan pertumbuhan dan sahamnya jatuh lebih dari 40 persen di sepanjang tahun ini.
Berbagai cara mulai diterapkan Amazon untuk mencegah kehancuran perusahaan, diantaranya dengan menutup layanan perawatan kesehatan primer Amazon Care, serta mengurangi operasi dari perusahaan perlengkapan menjahit Fabric.com dan pabrik robot Scout.
Akhir April lalu Amazon juga turut mengurangi jumlah karyawan hampir 80.000 orang. Namun cara tersebut tampaknya belum cukup mampu membuat pertumbuhan Amazon bangkit justru perusahaan ini semakin melemah hingga jatuh ke level terendah sejak 2001.
Alasan tersebut yang mendorong Amazon mengambil langkah ekstrem dengan memecat ribuan karyawannya seperti yang dilakukan Meta dan Twitter baru-baru ini.