Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Presiden Bank Dunia David Malpass mengungkapkan negara-negara termiskin di dunia kini memiliki utang sebesar 62 miliar dolar AS kepada kreditur bilateral resmi.
Dalam konferensi Reuters NEXT di New York, Amerika Serikat, pada Kamis (1/12/2022), Malpass mengatakan jumlah tersebut meningkat 35 persen dari tahun lalu dan memperingatkan beban yang meningkat dapat meningkatkan risiko default atau kegagalan membayar kembali utang.
Malpass juga memberikan beberapa rincian laporan statistik utang tahunan pemberi pinjaman pembangunan yang akan dirilis minggu depan, dengan menyampaikan dua pertiga dari beban utang ini saat ini berutang kepada China.
Baca juga: Bank Dunia Kucurkan Dana Tambahan Senilai 500 Juta Dolar AS untuk Bantu Ukraina
"Saya khawatir tentang proses gagal bayar yang tidak teratur di mana tidak ada sistem untuk benar-benar mengatasi utang untuk negara-negara miskin," kata Malpass, yang dikutip dari Reuters.
Malpass juga mengatakan dia prihatin dengan penumpukan utang di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), karena dapat menarik lebih banyak modal dari negara berkembang.
"Dan begitu suku bunga naik, layanan utang naik untuk ekonomi maju, dan itu membutuhkan modal dalam jumlah besar dari dunia," tambahnya.
Pertemuan di China
David Malpass mengungkapkan dia akan hadir dalam pertemuan di China minggu depan dengan kepala lembaga internasional lainnya dan otoritas China, guna membahas pendekatan negara tersebut terhadap keringanan utang untuk negara-negara miskin, kebijakan COVID-19, gejolak sektor properti, dan masalah ekonomi lainnya.
"China adalah salah satu kreditur besar, jadi...sangat penting bagi China untuk terlibat dalam masalah ini dan memikirkan ke mana dunia akan pergi dan tanggap untuk bekerja dengan apa yang perlu dilakukan untuk mencapai keberlanjutan bagi negara-negara tersebut," ungkap Presiden Bank Dunia.
Kepala IMF Kristalina Georgieva juga akan berpartisipasi dalam pertemuan tersebut, yang akan sangat berfokus pada penanganan utang.
Baca juga: Lonjakan Dolar AS Dorong Penyusutan Utang Dunia, Pertama Kalinya Sejak 2018
Di antara para peserta yang hadir dalam pertemuan tersebut antara lain para pejabat dari China Development Bank dan Export-Import Bank of China, dua pemberi pinjaman bilateral utama negara itu.
Georgieva secara terpisah mengatakan kepada Reuters Next, perubahan pada Kerangka Kerja Bersama Group of Twenty (G20) mengenai restrukturisasi utang diperlukan untuk mempercepat penanganan utang, membekukan pembayaran layanan utang begitu suatu negara meminta bantuan, dan membuka proses untuk negara berpenghasilan menengah seperti Sri Lanka.
"Kami khawatir ada risiko kepercayaan pada resolusi utang terkikis pada saat tingkat utang sangat tinggi. Kami tidak melihat pada titik ini...risiko krisis utang sistemik," kata Georgieva.
Kepala IMF menambahkan, negara-negara yang berada dalam kesulitan utang tidak cukup besar untuk memicu krisis yang akan mengancam stabilitas keuangan.