Setelah pemerintah memiliki smelter dan menghentikan ekspor dalam bentuk bahan mentah, pada tahun 2021 ekspor nikel melompat 18 kali lipat menjadi 20,8 miliar dolar AS atau Rp300 triliun lebih.
Menanggapi kekalahan di WTO, Presiden Jokowi mengingatkan jajarannya agar melakukan banding dan terus melakukan hilirisasi untuk bahan-bahan tambang lainnya seperti bauksit.
“Enggak apa-apa kalah, saya sampaikan ke menteri, banding. Nanti babak yang kedua hilirisasi lagi bauksit.
Artinya bahan mentah bauksit harus diolah di dalam negeri agar kita mendapatkan nilai tambah.
Setelah itu bahan-bahan yang lainnya, termasuk hal-hal yang kecil-kecil, urusan kopi, usahakan jangan sampai diekspor dalam bentuk bahan mentah.
Sudah beratus tahun kita mengekspor itu. Stop, cari investor, investasi agar masuk ke sana sehingga nilai tambahnya ada,” tegasnya.
Ditegaskan, nilai tambah nikel meningkat hingga 15 kali lipat.
“Seperti kasus nikel ini, dari Rp 20 triliun melompat ke lebih dari Rp 300 triliun sehingga neraca perdagangan kita sudah 29 bulan selalu surplus yang sebelumnya selalu negatif, selalu defisit neraca berpuluh-puluh tahun. Baru 29 bulan yang lalu kita selalu surplus. Ini yang kita arah,” lanjutnya.
Sejak 2021 volume dan nilai ekspor nikel Indonesia memang terus meningkat, terlebih dalam 9 bulan pertama 2022.
Baca juga: Usai Nikel, Jokowi Akan Larang Ekspor Komoditas Bahan Mentah Lainnya
Volume ekspor nikel melonjak 458,39 persen sepanjang Januari-September 2022 dibanding tahun sebelumnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total ekspor nikel nasional mencapai 534,05 ribu ton.
Nilainya pun luar biasa, yaitu sebesar 4,12 miliar dolar AS atau setara Rp62,83 triliun (kurs Rp15.232 per dolar Amerika Serikat saat itu).
Nilai ini melonjak lebih dari 5 kali lipat dibanding Januari-September 2021, serta lebih tinggi 3,24 kali lipat dibanding nilai ekspor sepanjang tahun lalu.
Saat ini di Indonesia telah ada sebanyak 19 pabrik peleburan (smelter) timah dan targetnya pada 2023 mendatang telah ada 53 pabrik yang beroperasi.