Laporan Wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Fintech Society (IFSOC) menyebut pemutusan hubungan kerja (PHK) yang marak terjadi pada perusahaan startup tak bisa sepenuhnya dipandang negatif.
Ekonom senior sekaligus Steering Committee IFSOC Hendri Saparini mengatakan kondisi inflasi dan ekonomi global mendorong investor menjadi lebih selektif dalam mendanai startup.
Investor menjadi lebih fokus pada profitabilitas dibanding growth.
Baca juga: IFSOC Soroti Penerbitan Regulasi Terkait Fintech Selama 2022, Mulai UU PDP hingga UU PPSK
Kondisi itu menyebabkan startup kerap kali melakukan efisiensi atau PHK dan optimisasi biaya dalam mempersiapkan cash flow untuk memperpanjang runaway.
Namun, Hendri berujar itu tidak bisa sepenuhnya dipandang negatif.
Sebab, fenomena tersebut merupakan siklus yang berdampak transformatif pada ekosistem startup di Indonesia.
“Tahun ini ekosistem startup fintech mengalami transformasi yang mendorong penyesuaian terhadap model bisnis yang commercially viable," kata Hendri dalam keterangannya, Selasa (27/12/2022).
"Perubahan ini mendorong iklim persaingan perusahaan fintech startup menjadi lebih sehat dan inovatif,” ujarnya.
Seperti diketahui, tahun ini perusahaan rintisan atau startup memilih jalan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya.
Hal tersebut dilakukan untuk menekan biaya pengeluaran sejumlah startup di tengah tagihan investor dalam menyetor keuntungan
Adapun beberapa startup yang melakukan PHK adalah JD.ID. PHK tersebut menyasar 50 hingga 85 persen atau sekitar 200 staff dari semua total karyawan.
Lalu, pada awal Maret 2022 TaniHub menghentikan semua layanan business to consumers (B2C), sehingga turut menghentikan operasional gudang di Bandung dan Bali.
Baca juga: IFSoc Menilai Platform Fintech dapat Membantu Penyaluran Bansos Secara Digital
Kemudian, PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) atau LinkAja mengungkapkan bahwa pihaknya melakukan reorganisasi yang berdampak pada PHK sejumlah karyawan.