TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Apa dasarnya Menteri Perhubungan mengatakan bahwa kenaikan tarif ferry 20 persen sangat membebani masyarakat?
Demikian pertanyaan ulang yang disampaikan Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Bambang Haryo Soekartono (BHS), Jumat (6/1/2023).
"Bila kita mengacu pada perhitungan tarif yang sebenarnya yang sudah melibatkan stakeholder tarif (Perwakilan Masyarakat atau YLKI, PT ASDP, Operator Pelayaran, Asuransi, dan Pemerintah) dan bahkan melibatkan Kemenko Marvest di Tahun 2019," ujar pria yang akrab disapa BHS ini.
Menurut Angota DPR RI Komisi V Periode 2014-2019 ini perhitungan tarif ditetapkan dimana pada saat itu tarif sudah tertinggal 45,5 persen dari HPP dan Kemenhub menjanjikan akan menaikkan secara bertahap dengan kenaikan di tahun 2020 hanya sebesar 10,1 persen.
Baca juga: Luhut: Digitalisasi Tiket Kapal Ferry Bikin Administrasi Menjadi Lebih Efektif dan Efisien
"Sehingga disini mengakibatkan banyak sekali pengusaha pelayaran yang menemui kesulitan bahkan beberapa perusahaan bangkrut," katanya.
"Semuanya terjadi di lintas komersial akibat tarif yang tertinggal sangat jauh dari perhitungan break event point yang dilakukan oleh pemerintah," ujar Ketua Dewan Penasehat DPP Gapasdap (Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan ini.
Menurut dia kalau melihat runtutan kronologi tarif di Gapasdap pada 2021 maka Gapasdap mengajukan kenaikan tarif sebelum adanya kenaikan BBM, mengacu kepada janji Kemenhub untuk melakukan kenaikan tarif secara bertahap setiap 6 bulan.
"Dan disetujui pada saat itu sesuai dengan KM 172 tahun 2022 yang prosesnya sudah melibatkan stakeholder yang akan dilakukan bertahap dengan besaran saat itu adalah sebesar 20%," katanya.
Demikian pula, kata dia, Menhub sudah menyetujui serta menandatangani surat keputusan tersebut dan bahkan mensosialisasikannya kepada masyarakat.
"Tetapi tanpa melibatkan stake holder tarif Menhub membatalkan tarif yang sudah disosialisasikan ke publik dengan besaran sebesar 11%, bersamaan satu minggu sebelumnya terjadinya kenaikan BBM sebesar 32%, sehingga kesulitan dari pengusaha menjadi bertambah berat sebelum kenaikan BBM," kata dia.
Padahal, menurutnya, Kemenhub seharusnya tahu bahwa banyak sekali operator yang tidak bisa memenuhi standarisasi pelayanan minimum bahkan keselamatan minimum di transportasi penyeberangan yang tentunya akan menjadi benih-benih kecelakaan.
"Dan disinyalir para petugas kemenhub terpaksa memberikan toleransi pada operator untuk melakukan hal tersebut karena mereka disinyalir tahu pengusaha mengalami kesulitan untuk memenuhi standarisasi pelayanan minimum," ujarnya.
DIkatakan bahwa bukti dari kesulitan pengusaha untuk memenuhi standar keselamatan dan pelayanan minimum pernah disurvey langsung oleh tim Gapasdap, dimana dari 2 kapal dimasing-masing lintasan rata-rata terdapat sekitar 20-30 item kekurangan keselamatan dan pelayanan minimum.
"Dan ini membahayakan keselamatan dan menjadi presiden buruk layanan ferry di Indonesia yang dikhawatirkan akan dinilai oleh dunia internasional, bahwa beberapa perusahaan menjadi perusahaan yang terburuk di dunia seperti yang terjadi pada dunia penerbangan kita dimana ada 2 perusahaan airline yang dinilai oleh dunia menjadi airline yang terburuk di dunia," ujarnya.
Dia mengatakan bahwa pernyataan Menhub yang mengatakan kenaikan tarif ferry 20% sangat membebani masyarakat tidak berdasar.
BHS mencontohkan perhitungan secara ekonomi adalah truk pengangkut beras 30 ton di lintas Merak-Bakauheni, tarifnya saat ini adalah Rp 974.278, jika tarifnya naik 20% maka akan mengalami kenaikan sebesar Rp194.855.
Sehingga per kg beras akan mengalami kenaikan harga sebesar Rp. 6,4 saja atau jika harga beras adalah Rp. 10.000/kg maka kenaikannya hanya sebesar 0,064% saja.
Baca juga: Bambang Haryo Khawatir Kebijakan Kemenhub Bahayakan Keselamatan Angkutan Penyeberangan
Bahkan jika tarif angkutan penyeberangan dinaikkan sesuai dengan kekurangan perhitungan yang seharusnya yaitu 35,4%, maka dampaknya hanya 0,11% atau Rp. 11,4 / kg beras.
"Harusnya Menhub paham jumlah transportasi publik dan logistik yang menggunakan ferry jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang tidak menggunakan angkutan ferry. Seperti misal lintas Merak-Bakauheni sebagai lintasan penyeberangan yang terpadat, dalam satu hari sekitar menyeberangkan 5 ribu kendaraan truk, sedangkan jumlah truk yang ada di Indonesia sekitar 6,5 juta unit," ujarnya.
Oleh karena itu, BHS mengatakan yang menggunakan angkutan penyeberangan tidak lebih dari 0.07%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa dampak kenaikan tarif ferry terhadap kenaikan inflasi atau harga barang menjadi jauh lebih kecil secara total kendaraan yang ada di Indonesia.
"Apa yang dikatakan oleh Menhub untuk melindungi masyarakat justru akan menjadi bomerang yang akan menjadi bencana yang besar bagi keselamatan transportasi penyeberangan," katanya.
"Karena bagaimana pengusaha ferry akan bisa menjamin keselamatan dan pelayanan minimim, apabila tarif jauh dibawah perhitungan break event point yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Jangan sampai Menhub, demi untuk politisasi, mengorbankan keselamatan masyarakat yang menggunakan transportasi penyeberangan," ujar senior Investigator KNKT 2008-2014 ini.