"Kita perlu waspadai 5 masalah ini dari ekonomi global. Pertama, pertumbuhan menurun atau (akibat adanya) risiko resesi di AS dan Eropa meningkat," ucap Perry dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia di Jakarta Convention Center, Rabu (30/11/2022).
Kedua, lanjut Perry, inflasi yang sangat tinggi alias high inflation. Tingginya inflasi dikarenakan harga energi dan pangan global.
Baca juga: Suku Bunga Acuan BI Naik Lagi, Bersiap Hadapi Kenaikan Bunga KPR dan Perbankan Bidik Pertumbuhan
Ketiga, adanya tren peningkatan suku bunga tinggi oleh Bank Sentral AS alias The Fed, yang juga diikuti oleh Bank Sentral dari negara-negara lain.
Keempat, dolar Amerika Serikat diprediksi masih akan sangat kuat. Tekanan tersebut akan membuat mata uang negara lain terdepresiasi, termasuk terhadap rupiah.
Dan kelima, cash is the king. Yaitu fenomena yang memicu penarikan dana investor-investor global yang cenderung menarik dana dari negara berkembang dan menyimpan dananya di instrumen investasi yang likuid.
Baca juga: OJK Sebut Dua Sektor Ekonomi Akan Kena Dampak Kenaikan Suku Bunga
Untuk itu, dalam menjaga ketahanan perekonomian Bank Indonesia menekankan sinergi dan inovasi sebagai kunci untuk menghadapi gejolak global.
Optimisme terhadap pemulihan ekonomi perlu terus diperkuat dengan tetap mewaspadai rambatan dari ketidakpastian global, termasuk risiko stagflasi (perlambatan ekonomi dan inflasi tinggi) dan bahkan resflasi (resesi ekonomi dan inflasi tinggi).
"Hal ini mengingat risiko koreksi pertumbuhan ekonomi dunia dan berbagai negara dapat terjadi apabila tingginya fragmentasi politik dan ekonomi terus berlanjut, serta pengetatan kebijakan moneter memerlukan waktu yang lebih lama untuk mampu menurunkan inflasi di masing-masing negara," pungkas Perry.