News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Industri Perbankan Waspadai Kenaikan Suku Bunga Acuan hingga Berlanjutnya Perang Rusia-Ukraina

Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gedung-gedung bertingkat sebagai pusat perekonomian di Jakarta

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Para pelaku industri perbankan nasional mewaspadai adanya berbagai tantangan ekonomi di tahun 2023.

Mulai dari kenaikan suku bunga acuan hingga perang Rusia-Ukraina yang masih berlanjut.

Ketua Umum Ikatan Bankir Indonesia (IBI), Haryanto T Budiman mengatakan, kenaikan suku bunga acuan diberbagai negara harus terus diwaspadai perbankan agar dapat diantisipasi ke depan.

Baca juga: The Fed Beri Sinyal Hawkish, Suku Bunga AS di 2023 Bakal Dikerek di Atas 5 Persen

Kebijakan kenaikkan suku bunga tinggi akan dipertahankan tergantung pada data inflasi dan data ketenagakerjaan dari Amerika Serikat.

Diketahui, naiknya suku bunga acuan bakal berdampak kepada kinerja kredit dan daya beli masyarakat.

"Dunia mengalami tantangan yang lumayan besar di tahun 2023 ini. Kenaikkan suku bunga acuan di Amerika Serikat diproyeksikan tetap akan berlanjut meskipun dengan besaran kenaikan yang lebih rendah," ucap Haryanto dalam acara CEO Banking Forum secara daring, Senin (9/1/2023).

"Berapa ekonom memproyeksikan 3 kali kenaikan di tahun 2023 masing-masing sebesar 25 basis poin," sambungnya.

Tak hanya soal kenaikkan suku bunga, masalah geopolitik termasuk perang antara Rusia-Ukraina yang belum menemukan kesepakatan untuk berdamai dalam waktu dekat ini, juga perlu diwaspadai.

Menurut Haryanto, hal ini bisa menjadi sumber ketidakpastian ekonomi tahun 2023.

"Perang antara Rusia-Ukraina yang belum ada tanda-tanda mereda dalam waktu singkat ini, masih merupakan sumber ketidakpastian di tahun 2023," papar Haryanto.

"Apabila terus berlanjut masih banyak sekali unknown-unknown yang mungkin timbul di berbagai sektor," pungkasnya.

Baca juga: Naiknya Suku Bunga Acuan BI Disebut Jadi Tantangan Tak Hanya Bagi Konsumen, Tapi Juga Pengembang

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo juga pernah menyinggung, ketidakpastian global masih bakal menghantui kondisi perekonomian seluruh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.

Perry melanjutkan, sederet permasalahan tersebut bakal memberikan dampak terhadap perekonomian global, yang tentunya wajib diwaspadai Indonesia.

"Kita perlu waspadai 5 masalah ini dari ekonomi global. Pertama, pertumbuhan menurun atau (akibat adanya) risiko resesi di AS dan Eropa meningkat," ucap Perry dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia di Jakarta Convention Center, Rabu (30/11/2022).

Kedua, lanjut Perry, inflasi yang sangat tinggi alias high inflation. Tingginya inflasi dikarenakan harga energi dan pangan global.

Baca juga: Suku Bunga Acuan BI Naik Lagi, Bersiap Hadapi Kenaikan Bunga KPR dan Perbankan Bidik Pertumbuhan

Ketiga, adanya tren peningkatan suku bunga tinggi oleh Bank Sentral AS alias The Fed, yang juga diikuti oleh Bank Sentral dari negara-negara lain.

Keempat, dolar Amerika Serikat diprediksi masih akan sangat kuat. Tekanan tersebut akan membuat mata uang negara lain terdepresiasi, termasuk terhadap rupiah.

Dan kelima, cash is the king. Yaitu fenomena yang memicu penarikan dana investor-investor global yang cenderung menarik dana dari negara berkembang dan menyimpan dananya di instrumen investasi yang likuid.

Baca juga: OJK Sebut Dua Sektor Ekonomi Akan Kena Dampak Kenaikan Suku Bunga

Untuk itu, dalam menjaga ketahanan perekonomian Bank Indonesia menekankan sinergi dan inovasi sebagai kunci untuk menghadapi gejolak global.

Optimisme terhadap pemulihan ekonomi perlu terus diperkuat dengan tetap mewaspadai rambatan dari ketidakpastian global, termasuk risiko stagflasi (perlambatan ekonomi dan inflasi tinggi) dan bahkan resflasi (resesi ekonomi dan inflasi tinggi).

"Hal ini mengingat risiko koreksi pertumbuhan ekonomi dunia dan berbagai negara dapat terjadi apabila tingginya fragmentasi politik dan ekonomi terus berlanjut, serta pengetatan kebijakan moneter memerlukan waktu yang lebih lama untuk mampu menurunkan inflasi di masing-masing negara," pungkas Perry.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini