Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho menilai, pemerintah perlu mendorong diversifikasi produk berorientasi ekspor.
Saat ini, Indonesia masih banyak bergantung pada ekspor komoditas. Sebab itu, Indonesia perlu mengubah struktur ekspor melalui diversifikasi produk dan peningkatan nilai tambah.
"Tentu yang kita dorong saat ini adalah bagaimana kita bisa melakukan diversifikasi produk yang kita ekspor. Sehingga kita tentunya tidak hanya mengandalkan dari ekspor komoditas. Selama ini kita masih mengandalkan dari ekspor barang mentah dan juga komoditas, yang mana dari segi nilai tambah itu juga rendah," kata Andry Satrio melalui keterangannya di Jakarta, Kamis (12/1/2023).
Andry menilai industri dalam negeri juga masih belum optimal dalam keterkaitan dengan rantai nilai global (global value chains/GVC).
GVC adalah jaringan tahapan produksi barang dan jasa dari desain produk hingga distribusi barang ke konsumen akhir yang diproduksi dan dirakit di berbagai negara.
"Hal itu didorong oleh kondisi industri kita saat ini di mana kita bisa berbicara masalah industri yang masih minim keterkaitannya dengan global value chains dimaksud," ucapnya.
Kendati demikian, Andry mengatakan konsumsi dalam negeri masih akan sangat membantu menopang ekonomi nasional.
Hal ini berbeda dengan negara-negara lain yang masih mengandalkan sektor perdagangan ekspor dan impor dalam perekonomian.
"Kita lihat kalau misalnya ke depan ekspor kita turun apalagi dari segi produk-produk jadi, tentunya dampak secara agregat terhadap perekonomian tidak terlalu besar. Kenapa? Karena PDB kita masih didominasi oleh sektor konsumsi," ungkapnya.
Baca juga: Menko Airlangga Resmikan Fasilitas Produksi dan Lepas Ekspor Produk Tembakau Bebas Asap Sampoerna
Selain itu, Andry menilai perjanjian kerja sama dagang dengan sejumlah negara juga patut ditingkatkan mengingat kondisi ekonomi global juga tengah tidak stabil.
"Yang kedua adalah bagaimana kita bisa melakukan perjanjian kerja sama perdagangan yang memang cukup masif ya. Di saat kondisi yang memang tidak cukup stabil, sehingga proses perjanjian kerjasama tersebut adalah proses di mana kita bisa mendorong agar kestabilan dari perdagangan dengan negara luar itu bisa tetap terjaga," ucapnya.
Selain itu, langkah yang bisa ditempuh adalah meningkatkan kapasitas intelijen pasar.
Kondisi pasar yang tidak stabil tentu membutuhkan bukan sekedar prediksi melainkan juga kekuatan agar market yang ada di luar ini bisa dipenuhi oleh produk-produk dari Indonesia.
"Jadi, kita bisa melakukan kegiatan intelijen pasar di negara luar sehingga kita bisa mendapatkan setidaknya gambaran apa yang perlu kita dorong atau apa yang perlu kita kembangkan di industri domestik kita," tandasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Indonesia masuk ke dalam kelompok negara yang memiliki resiliensi terhadap kondisi ketidakpastian global saat ini sebab tidak bergantung terlalu besar pada ekspor atau kontribusi ekspor terhadap ekonomi negara.
Kendati demikian, Airlangga juga menyebutkan pertumbuhan ekspor dan impor 2023 akan turun.
Baca juga: Genjot Elektabilitas, Golkar Terus Gaungkan Kinerja Apik Airlangga Hartarto
Pada 2023, ekspor diproyeksikan hanya tumbuh 12,8 persen dan impor 14,9%. Sedangkan, di 2022 ekspor tumbuh 29,4% dan impor tumbuh 25,37%.
“Ini terjadi karena basisnya sudah tinggi,” kata Ketua Umum Partai Golkar itu.