News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Skema Power Wheeling Dikhawatirkan Bebani Keuangan Negara, Prioritaskan Listrik ke Daerah Terpencil

Penulis: Reynas Abdila
Editor: Seno Tri Sulistiyono
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi. Rencana penerapan skema power wheeling masuk di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBT) menuai beragam pendapat. Satu di antaranya kekhawatiran terhadap beban keuangan yang akan dialami negara.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana penerapan skema power wheeling masuk di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBT) menuai beragam pendapat.

Skema power wheeling merupakan pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik.

Melalui skema itu, produsen listrik swasta atau independent power producer (IPP) bisa menjual listrik langsung kepada masyarakat dengan jaringan transmisi dan distribusi yang dimiliki dan dioperasikan oleh PLN.

Baca juga: Ombudsman Harap Pemerintah dan DPR Segera Sahkan RUU EBT Demi Adanya Payung Hukum

Anggota Komisi VII DPR RI Yulian Gunhar mengatakan, skema power wheeling akan membuat pembangkit swasta bebas menjual listrik langsung kepada konsumen di mana pun, melalui jaringan transmisi dan distribusi PLN.

“Sedangkan PLN hanya mendapatkan toll fee (biaya angkut) saja,” kata Gunhar yang ditulis Jumat (13/1/2023).

Dia pun menolak skema power wheeling masuk di dalam RUU EBT yang dibahas Komisi VII DPR RI bersama pemerintah.

Ia menyebut, jika skema power wheeling dimasukkan dalam pembahasan RUU EBT, maka berpotensi membebani keuangan negara.

Sebab, PLN akan wajib membeli listrik yang diproduksi pembangkit swasta, walau dalam kondisi over supply.

“PLN harus menanggung beban Take or Pay (ToP) jika listrik yang disediakan swasta tidak terserap atau over supply. Di mana setiap tambahan pembangkit sebesar 1 GW akan mengakibatkan tambahan beban ToP rata-rata sebesar Rp2,99 triliun,” papar Gunhar.

Gunhar menambahkan, beban terhadap keuangan negara tersebut akan mengurangi kemampuan untuk mengaliri listrik ke berbagai wilayah terpencil yang saat ini belum terjangkau listrik.

“Saat ini yang sangat prioritas dibutuhkan rakyat adalah mengaliri listrik ke daerah terpencil, serta kondisi over supply listrik yang biayanya ditanggung negara, bukan skema power wheeling,” katanya.

Jika klausul tersebut diloloskan, maka sejatinya melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dan juga putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait unbundling yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) karena bertentangan dengan UUD 1945.

“Power wheeling pada dasarnya bentuk liberalisasi PLN, bertentangan dengan UUD 1945 yang mengamanatkan kekayaan negara harus dimanfaatkan sebesar besarnya untuk masyarakat. Sehingga aset pemerintah berupa transmisi dan jaringan distribusi sejatinya tidak bisa dikomersialisasikan,” papar Gunhar.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini