Kemenkeu menjelaskan, fluktuasi posisi utang pemerintah dipengaruhi oleh adanya transaksi pembiayaan berupa penerbitan dan pelunasan surat berharga negara (SBN), penarikan dan pelunasan pinjaman, serta perubahan nilai tukar.
"Pemerintah berkomitmen untuk terus mengelola utang dengan hati-hati," tulis Kemenkeu.
"Dengan strategi utang yang memprioritaskan penerbitan dalam mata uang rupiah, porsi utang dengan mata uang asing ke depan diperkirakan akan terus menurun dan risiko nilai tukar dapat makin terjaga," tulis Kemenkeu.
Baca juga: Cegah Gagal Bayar, Menkeu Amerika Serikat Desak Parlemen Naikkan Batas Utang Pemerintah
Adapun untuk besaran utang dalam bentuk SBN, terdiri dari domestik atau denominasi rupiah sebesar Rp 5.452,36 triliun, mencakup surat utang negara (SUN) senilai Rp 4.441,12 triliun dan surat berharga syariah negara (SBSN) Rp 1.011,24 triliun.
Kemudian terdiri dari denominasi valuta asing (valas) sebesar Rp 1.394,53 triliun, yang mencakup SUN senilai Rp 1.064,37 triliun dan SBSN mencapai Rp 330,16 triliun.
Kepemilikan SBN saat ini didominasi oleh perbankan dan diikuti Bank Indonesia (BI), sedangkan kepemilikan investor asing terus menurun sejak 2019 yang mencapai 38,57 persen hingga per Desember 2022 mencapai 14,36 persen.
Menurut Kemenkeu, semakin menurunnya kepemilikan asing terhadap SBN sekaligus menunjukkan upaya pemerintah yang konsisten dalam mencapai kemandirian pembiayaan dan didukung likuiditas domestik yang cukup.
"Meski demikian, pemerintah akan terus mewaspadai berbagai risiko yang berpotensi meningkatkan cost of borrowing seperti pengetatan likuiditas global dan dinamika kebijakan moneter negara maju," tulis buku APBN KiTa tersebut.
Sementara itu, untuk utang yang berasal dari pinjaman yakni mencakup pinjaman dalam negeri sebesar Rp 19,67 triliun dan pinjaman luar negeri senilai Rp 867,43 triliun.
Secara rinci pinjaman luar negeri itu terdiri dari pinjaman bilateral sebesar Rp 282,75 triliun, multilateral Rp 529,99 triliun, serta comercial banks sebesar Rp 54,70 triliun.