Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom senior sekaligus mantan Menteri Keuangan periode 2013-2014 Chatib Basri menyoroti dampak dari kondisi perekonomian global terhadap ekonomi nasional.
Menurut Chatib, sejumlah tanda-tanda bahwa Bank Sentral Amerika Serikat dan Eropa belum akan menurunkan suku bunga dalam waktu dekat.
Untuk diketahui, suku bunga acuan bank sentral kini berada di 5,5 persen, naik 2 persen dari level terendahnya 3,5 persen yang sempat dipertahankan lebih dari setahun.
Baca juga: Peneliti CIPS: Indonesia Bakal Terhindar Resesi Ekonomi Global
Hal itu turut tercermin dalam pembahasan pada kegiatan World Economic Forum (WEF) yang ia hadiri di Davos, Swiss.
"Memang ada tanda-tanda bahwa inflasi mengalami penurunan. Tetapi pasar tenaga kerja masih sangat ketat naik di Amerika Serikat maupun di Eropa," kata Chatib dikutip dalam akun media sosial Instagramnya, Sabtu (21/1/2023).
Chatib mengatakan, Pemerintah Indonesia perlu mengantisipasi penurunan harga komoditas dan energi yang dinilai akan berdampak pada kegiatan ekspor di Indonesia.
Namun, ekpor komoditas energi di Indonesia hanya menyumbang 25 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sehingga kata Chatib, dia meyakini Indonesia bakal terhindar dari ancaman resesi ekonomi.
"Seperti saya katakan bahwa share dari ekspor Indonesia terhadap GDP hanya 25 persen. Maka dampaknya akan sangat terbatas. Karena itu, saya masih berpendapat bahwa probabilitas dari resesi terhadap Indonesia masih relatif kecil," tegasnya.
Namun, dia menegaskan, Indonesia perlu waspada jika terjadi kenaikan suku bunga acuan dari Bank Sentral Amerika Serikat maupun Eropa.
"Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kenaikan bunga tentu akan berdampak pada balance effect ke Indonesia," tutur dia.
Disisi lain, Chatib mengatakan kabar baiknya adalah kebijakan Zero Covid Policy yang sudah ditiadakan oleh China, mampu berdampak positif bagi pasar ekonomi ASEAN.
"Hal yang positif adalah pembukaan dari ekonomi China dari zero covid policy, akan membawa dampak yang positif namun ada risiko di dalam medium dan long term," ucapnya.
Terhindar dari Resesi
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyampaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2023 diprediksi akanlebih baik melampaui rata-rata negara lain.
Pernyataan Erick merupakan proyeksi pertumbuhan ekonomi negara G20 di tahun 2023.
"Kita pakai statistik G20 karena kan sudah naik kelas dan kemarin kita alhamdulilah dengan G20 yang sukses sudah saatnya kita menyetarakan diri dengan negara besar dunia," ucapnya, Kamis (19/1).
Erick mengatakan setara saja tidak cukup namun Indonesia harus lebih maju dan menang dalam berkompetisi. Menurutnya, menjadi negara yang kompetitif menjadi sangat penting untuk bisa bersaing di level internasional.
"Kalau kita lihat statistik ekonomi ini mungkin rata-rata dunia 4,3 persen tetapi kalau kita lihat dari negara G20 sendiri, Indonesia berada di dua besar (4,7 persen)," jelas Erick.
Indonesia, imbuh Erick, dalam proyeksi G20 hanya kalah dari India yakni sebesar 6 persen. Erick melihat negara-negara G20 justru banyak yang berada jauh di bawah Indonesia secara perekonomian.
Kondisinya semakin sulit karena beberapa negara besar akan menghadapi resesi.
"Pertanyaannya kemudian Indonesia bagaimana? Saya yakin tidak (terjadi, red) karena Indonesia punya dua hal kekuatan yaitu konsumsi rumah tangga dan investasi," ungkapnya.
Erick menegaskan dari dua kekuatan tersebut bisa dipastikan Indonesia akan aman dari isu resesi yang disebut-sebut akan melanda dunia.
Konsumsi rumah tangga RI pada kuartal III 2022 tercatat sebesar Rp2.560 triliun atau 50,38 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).Sedangkan realisasi investasi di kuartal III 2022 senilai Rp892,4 triliun atau 74,4 persen dari target Rp1.200 triliun.
"Kita mirip-mirip Amerika dan China yang fondasinya kuat, kalau kita bandingkan dengan negara Asia Tenggara seperti Vietnam dan Thailand justru berbalik mereka lebih mengandalkan ekspor," ujar Erick.
Erick menambahkan Indonesia bahkan mendapatkan durian runtuh dari surplus neraca perdagangan sepanjang 2022. Nilai neraca perdagangan Indonesia tahun 2022 mencetak rekor tertinggi dengan capaian surplus sebesar 51 miliar dolar Amerika Serikat (AS).
"Itu angka yang tidak pernah terpikirkan karena kenapa Presiden Jokowi berhasil menurunkan hilirisasi dari pada sumber daya alam yang selama ini kita terjebak ingin cari uang cepat," tutur Erick.
Erick menyebut saat ini harga bahan mentah nikel sudah melambung dari 1 miliar dolar AS menjadi 20 miliar dolar AS berkat kebijakan hilirisasi.
"Bapak Presiden sekarang mendorong bagaimana yang namanya new market selatan to selatan itu yang kita garap sekarang seperti Pakistan, Afrika, UAE kemarin kita sudah tandatangan CEPA," tukasnya.
Menurut Erick, Indonesia memiliki fundamental yang kuat untuk menghadapi ancaman resesi.
Ditambah lagi, realisasi investasi yang sudah tembus Rp1.200 trilun namun belum publish kuartal IV 2022.
"Yang menarik juga cita-cita Bapak Presiden kita membangun Indonesia sentris ini terjadi, sekarang investasi antara Jawa dan luar Jawa sudah seimbang," imbuhnya.