TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendapati adanya 12 koperasi bodong dengan omzet Rp15 triliun memantik keprihatinan banyak kalangan.
Pengelola koperasi pun diminta untuk kembali ke semangat dasar (khittah) pendirian koperasi dari anggota, oleh anggota, dan untuk anggota.
“Kami sepakat jika saat ini Indonesia dikatakan mengalami Darurat Koperasi karena masifnya penyalahgunaan koperasi sebagai entitas usaha kerakyatan menjadi kedok investasi illegal yang ujungnya memicu kerugian ribuan nasabah. Maka koperasi harus kembali ke khittah sebagai soko guru perekonomian Indonesia,” ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fathan Subchi, Rabu (15/2/2023).
Berdasarkan paparan PPATK dalam Rapat Kerja Bersama Komisi III DPR diketahui jika saat ini ada sedikitnya 12 koperasi bodong yang menjalankan skema ponzi untuk menarik duit investasi dari nasabah.
Perputaran investasi koperasi bodong ini mencapai angka Rp500 triliun. Dana investasi tersebut mengalir dalam berbagai bentuk penggunaan seperti pembelian jet pribadi hingga operasi plastic.
Duit investasi tersebut juga menggalir ke berbagai negara suaka pajak (tax heaven) di dunia.
Fathan menjelaskan fakta yang diungkap PPATK ini tentu menguatkan rumor jika saat ini koperasi yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan anggota dengan segala keistimewaannya menjadi kedok investasi ilegal.
Dengan minimnya pengawasan dari pihak eksternal maka potensi penyalagunaan uang nasabah akan sangat besar.
“Kasus Koperasi Indosurya yang diduga menyalahgunakan uang nasabah hingga Rp106 triliun menjadi contoh bagaimana koperasi saat ini hanya menjadi kedok investasi ilegal. Korbannya juga tidak tanggung-tanggung ada 23.000 nasabah yang kehilangan dana,” katanya.
Baca juga: Anya Dwinov Kecewa Bos Indosurya Divonis Bebas, Berusaha Agar Uang Rp 5 Miliar Miliknya Bisa Kembali
Situasi ini, lanjut Fathan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Harus ada langkah terobosan untuk memastikan “jenis kelamin” dari koperasi sebagai entitas bisnis. Apakah mereka hanya melayani anggota saja atau juga melebarkan sayap pelayanan kepada non-anggota.
“Jika memang Koperasi Simpan Pinjam (KSP) telah melayani non-anggota maka sesuai dengan UU P2SK mereka harus beralih menjadi Koperasi di sektor jasa keuangan sehingga memungkinkan adanya pengawasan dari pihak eksternal dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” kata Sekretaris Fraksi PKB DPR RI tersebut.
Baca juga: Soal Kasus KSP Indosurya, Mahfud MD: Dia Boleh Bayar Siapapun Agar Aman, Kita Kejar Terus
Dalam UU P2SK, kata Fathan ketentuan invetarisasi jenis koperasi ini akan berlangsung selama dua tahun sejak beleid tersebut diundangkan.
Artinya saat ini masih dalam status quo di mana koperasi simpan pinjam yang melayani non-anggota tetap bisa beroperasi tanpa pengawasan dari pihak eksternal sehingga memungkinkan penyalahgunaan dana nasabah.
“Di sinilah dibutuhkan langkah terobosan tersebut untuk memastikan keamanan dana nasabah koperasi simpan pinjam. Di sisi lain langkah terobosan tersebut bisa dijadikan sebagai early warning bagi pengelola KSP agar tidak main-main dalam mengelola duit nasabah,” pungkasnya.