Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kinerja saham perbankan Indonesia melesat pada kuartal I 2023, terutama untuk empat bank dengan kapitalisasi terbesar.
Keempat bank itu, yakni PT Bank Central Asia (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) yang masing-masing sahamnya menguat sejak awal tahun sebanyak 5,85 persen, 4,72 persen, 4,8 persen, dan 2,17 persen.
Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan, kinerja dari kapitalisasi pasar dipengaruhi oleh faktor kenaikan pertumbuhan kredit.
Baca juga: Saham GOTO Melonjak, IHSG Naik 0,77 Persen ke 6.963 pada Perdagangan BEI Sesi I
"Kenaikan itu mempengaruhi pada peningkatan kualitas kinerja darpada net interest margin, sekaligus juga rendahnya Non Performing Loan (NPL) ya," ujarnya kepada Tribunnews.com, Senin (1/5/2023).
Nafan menjelaskan, NPL tersebut jadi cerminan terhadap bagian dari risiko yang perbankan tanah air hadapi secara baik tahun ini.
"Memang dihadapi oleh perbankan ya kan, tapi setidaknya perbankan tersebut mampu mengatasi atau mampu jalankan mitigasi risiko dengan baik," katanya.
Kemudian, juga di sisi lain dari domestik adalah terkait dengan faktor tingginya likuiditas perbankan nasional yang sangat memadai.
"Buktinya saja, pertumbuhan kredit kita masih double-digit ya kan dan di sisi lain suku bunga BI (Bank Indonesia) juga relatif akomodatif ya. Sehubungan dengan komitmen dari BI untuk menerapkan kebijakan moneter yang akomodatif seiring dengan penerapan namanya kebijakan pro pertumbuhan dan pro stabilitas," tutur Nafan.
Berbagai keunggulan tersebut membuat perbankan di Indonesia memiliki daya tahan hingga mencatatkan pertumbuhan kinerja keuangan.
Beda halnya dengan yang dialami bank-bank global yang kolaps, yakni Silicon Valley Bank, Credit Suisse, Deutsche Bank, dan terbaru adalah First Republic Bank yang sahamnya sempat anjlok 50 persen sehari.
"Bedanya kalau misalkan yang dialami oleh negara maju ialah terkait dengan keterbatasan likuiditas global. Lalu, juga diakibatkan oleh kebijakan tapering yang dijalankan The Fed dan disertai dengan kebijakan kenaikan suku bunga The Fed secara agresif, jadi seperti itu," pungkasnya.