TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 940 Tahun 2023 tentang Harga Referensi Crude Palm Oil menjadi sorotan Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia
Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia ( APPKSI), Arief Poyuono, mengatakan, apabila sudah dikenakan Bea Keluar CPO cukup tinggi, maka tidak perlu dilakukan pungutan ekspor CPO.
Menurut Arief Poyuono, karena PE CPO ini akhirnya oleh Perusahaan pemilik PKS dan para trader CPO dibebankan pada harga TBS Petani Sawit dan juga Harga TBS Perusahaan Kebun Sawit .
"Jika dibandingkan awal April lalu yang masih bertengger di harga Rp 2.200-2.350/kg, penurunannnya sangat jauh," kata Arief Poyuono dalam keterangan tertulis, Rabu (3/5/2023).
Ia menambahkan, dampak Pungutan Ekspor CPO terhadap harga TBS Petani di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) minggu pertama April 2023 lalu masih di harga rata-rata sekitar Rp 2.400-2.700/kg.
Kemudian harga TBS petani sawit bermitra anjlok menjadi rata-rata Rp 2.100-2.200, dari sebelumnya rata-rata Rp 2.600-2.950/kg.
Dan untuk harga TBS Petani Swadaya (mandiri), di beberapa Provinsi sawit seperti Sulawesi Selatan, Riau Kaltara Kalbar , Sulbar, Sultra, Papua dan beberapa provinsi lainnya, harga TBS sawit Petani Swadaya di PKS sudah anjlok diharga Rp 1.650-Rp1.800/kg.
Baca juga: Pengusaha Minta Ekspor CPO Ditingkatkan Setelah Lebaran, Ini Alasannya
Berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 940 Tahun 2023 tentang Harga Referensi Crude Palm Oil yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, Bea Keluar (BK) dan Pungutan Ekspor (PE) untuk periode 1 – 15 Mei 2023 berada di US$955,53/MT.
Harga tersebut diketahui menguat sebesar US$22,84/MT atau 2,45 persen dari harga referensi CPO periode 16 – 30 April 2023 lalu yang berada di US$932,69/MT.
Diungkapkan oleh Budi Santoso selaku Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, bahwasanya harga referensi CPO saat ini meningkat menjauhi ambang batas US$680/MT.
Arief Poyouno menilai kebijakan ini sangat merugikan petani sawit yang mandiri maupun petani Plasma.
Serta, kata dia bisa berdampak buruk bagi macetnya pembayaran kredit ke perbankan oleh para petani sawit, begitu juga angsuran kredit oleh Perusahaan Perkebunan Sawit yang mana mayoritas dana investasinya diperoleh dari perbankan
Apalagi Industri perkebunan sawit telah sangat terpengaruh oleh beberapa tahun La Nina sehingga produksi berkurang secara besar-besaran.
"Sementara disisi Biaya produksi rata-rata telah meningkat bersamaan dengan peningkatan lainnya dalam biaya pupuk, biaya perawatan tanaman, biaya tenaga kerja, kekurangan pupuk dari curah hujan yang tinggi, kerugian akibat banjir, perbaikan batu dan jalan, penanaman kembali, dll," ucap Arief Poyuono.