Diakuinya, secara perlahan Amerika Serikat (AS) tidak akan mendominasi perekonomian dunia karena di dalam negeri mereka memiliki fundamental ekonomi yang kropos.
Sejumlah negara maju di Eropa dan AS perlahan terpuruk. Menurut Agustinus, seiring pergeseran pusat pertumbuhan ekonomi dunia ke Asia, sejumlah negara di Asia berpotensi menjadi negara maju, termasuk Indonesia.
Direktur Riset INDEF, Berly Martawardaya mengungkapkan sejumlah sektor di Indonesia yang tumbuh di bawah rata-rata saat ini adalah industri, pertambangan, pertanian dan perdagangan.
Untuk mendorong sejumlah sektor tersebut, ujar Berly, membutuhkan dorongan yang lebih besar. Diakuinya, dengan kondisi tersebut pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga dan keempat tahun ini akan lebih sulit.
Apalagi, tegas Berly, dua faktor pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini adalah good policy dan good luck. "Kita butuh good effort untuk ciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik,' ujarnya.
Terkait pengurangan pemakaian mata uang dolar AS, menurut Berly, harus diwaspadai peningkatan kebutuhan transportasi yang berdampak pada peningkatan penggunaan bahan bakar minyak (BBM), yang pengadaannya melalui impor.
Di sisi lain, tambah dia, harga minyak sawit yang merupakan andalan ekspor Indonesia harganya mulai turun.
"Harus segera dilakukan upaya peningkatan nilai tambah dan diversifikasi produk turunan kelapa sawit, sambil mengupayakan terus peningkatan pemanfaatan energi terbarukan di tanah air," ujar Berly.
Selain itu, tambah dia, dalam strategi pembiayaan investasi perlu diterapkan kebijakan local sattlement currency (LSC) dan local sattlement payment (LSP), untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.
Upaya impor dari Tiongkok, Malaysia dan Thailand yang sebesar 45% dari total impor Indonesia, ungkap Berly, bisa memanfaatkan kebijakan LSC.
Vice Managing Editor KONTAN, Syamsul Ashar berpendapat faktor geopolitik dampak konflik Rusia dan Ukraina masih mempengaruhi perekonomian dunia dan nasional.
Menurut Syamsul, memacu pertumbuhan sektor manufaktur dengan memanfaatkan pendanaan dari luar negeri, malah akan memacu kebutuhan Indonesia terhadap dolar AS akan semakin tinggi.
Perlu diupayakan pola pembiayaan alternatif, tambahnya, dalam upaya membangun sektor manufaktur nasional yang lebih kuat.
Baca juga: Jurus BI Jaga Stabilitas Keuangan dan Dorong Pemulihan Ekonomi Nasional
Jurnalis Media Indonesia, Fetry Wuryasti berpendapat penerapan kebijakan LSC dan LSP kerap hanya dijalankan pada awal kesepakatan saja, belum ada konsistensi pemanfaatannya.