Sebagaimana pada semester I 2022, Garuda juga mengklaim meraup laba bersih sebesar Rp 57 triliun.
Laba tersebut juga disumbang dari pendapatan restrukturisasi utang.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, laba Garuda Indonesia sebesar Rp 56,9 triliun hanya merupakan angka di atas kertas belaka.
Baca juga: Hari Ini Citilink Layani Penerbangan dari Bandara Halim Perdanakusuma, Batik dan Wings Air Menyusul
Dalam pencatatan akuntansi, istilah ini disebut dengan laba buku atau book profit.
Book profit adalah jenis laba yang dicatatkan dalam pembukuan, tetapi sebagian pendapatan sebetulnya belum terealisasi.
Pencatatan book profit memang sudah lazim dilakukan banyak perusahaan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku, terutama pembukuan akuntansi berbasis akrual.
Laba sendiri dihitung dari pendapatan perusahaan yang dikemudian dikurangi dengan seluruh beban perusahaan.
Laba Garuda yang melejit itu tentunya terjadi karena disumbang pendapatan yang juga meroket.
Dalam kasus Garuda, laba sebesar Rp 57 triliun muncul karena adanya homologasi dalam PKPU. Homologasi adalah persetujuan debitur dan kreditur untuk mengakhiri kepailitan.
Di mana setelah adanya PKPU, maka ada pembalikan liabilitas atau utang menjadi pendapatan perusahaan.
Dalam istilah lain, meroketnya laba Garuda Indonesia muncul karena utang yang belum bisa dibayarkan kemudian dicatatkan sebagai pendapatan perusahaan setelah adanya PKPU.
Baca juga: Kendala Teknis Jadi Penyebab Garuda GA 607 Rute Manado-Jakarta Harus Return To Base
Pembalikan utang menjadi pendapatan diakui dalam pencatatan akuntansi, hal ini bisa dimaklumi karena Garuda Indonesia yang seharusnya mencatat pembayaran utang dan bunga sebagai beban dalam laporan keuangan, kemudian diputuskan tidak perlu membayarnya karena para kreditur bersedia untuk berdamai sesuai dengan proposal yang diajukan perusahaan.
Keuangan Garuda Indonesia Selain klaim laba yang meningkat tajam, Garuda Indonesia juga mengklaim telah melakukan penguatan fundamental kinerja usaha dengan berhasil menurunkan total pengeluaran tetap atau fixed cost selama 2022 menjadi sebesar 73,9 persen dibandingkan 2019.
Irfan menuturkan, penurunan fixed cost itu mayoritas didorong oleh penurunan biaya sewa pesawat dan penerapan cost leadership di beragam pengeluaran operasi yang berbasis fixed cost.