Menurut Ali, setidaknya ada lima hal yang harus diperhitungkan oleh pemerintah.
Pertama, pemerintah perlu pemetaan potensi mineral (bauksit, dan lainnya) secara rinci meliputi resource, reserve dan proven.
"Kedua, perlu perhitungan dan pemetaan kapasitas smelter eksisting terkait daya serap bahan dasar yang ada sekarang dan rencana pengembangannya," kata Ali saat dihubungi Tribunnews, Minggu (11/6/2023).
Ali menambahkan, hal ketiga yang harus menjadi perhatian pemerintah yakni, perencanaan untuk pembangunan smelter baru oleh BUMN atau dari investor swasta nasional maupun investor asing.
Terlebih, kata dia, Indonesia menempati posisi kelima dengan produksi bauksit sebanyak 21 juta ton.
Namun, kapasitas smelter bauksit domestik saat ini hanya mampu mengolah input sejumlah 13 juta ton per tahun.
"Artinya daya serap smelter dalam negeri belum mampu menampung semuanya. Oleh karena itu perlu adanya pengembangan kapasita produksi smelter eksisting dan pembangunan smelter baru," terangnya.
Dikatakan Ali, poin keempat adalah penyusunan ulang regulasi bagi kepentingan bersama dan menitikberatkan pada kepentingan nasional.
"Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus duduk bersama, dalam menyusun regulasi bagi kepentingan nasional," tutur dia.
Sementara yang terakhir, Ali menyampaikan bahwa pemerintah perlu menyiapkan insentif untuk memudahkan investor membangun smelter di Indonesia.
"Kelima, pemerintah menyiapkan beragam insentif (kemudahan perizinan, perpajakan, subsidi, dll) agar menarik investor untuk membangun smelter dan industri berbasis logam (termasuk aluminium) di Indonesia," jelasnya.
Meski begitu, Ali mendukung penuh kebijakan ekspor bauksit yang resmi dihentikan.
Terlebih, selama ini negara kehilangan banyak sumber pendapatan dan rakyat hanya menjadi konsumen belaka.
"Saya kira keputusan pemerintah untuk secara tegas melarang eksport bauksit mulai tanggal 11 Juni 2023 ini sudah tepat dan layak kita dukung," tegas dia.