TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Layanan keuangan QRIS kini semakin banyak digunakan karena banyak manfaatnya bagi masyarakat.
Kini Bank Indonesia telah mempersiapkan menambah fitur baru yang sangat penting yaitu menggunakan QRIS untuk tarik dan setor tunai dan transfer menambah fitur yang selama ini hanya untuk pembayaran saja.
Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta mengungkapkan program ini dinamakan QRIS Tuntas dan akan diluncurkan pada 17 Agustus mendatang.
Baca juga: Ini Serunya Bertransaksi Dengan QRIS BNI Mobile Banking di BNI Java Jazz Festival 2023
Rencananya, fitur tersebut akan meluncur pada Agustus 2023.
“Sebagai kado ulang tahun kemerdekaan Indonesia,” ujar Fili dalam dalam konferensi pers RDG BI, Kamis (22/6/2023).
Ia menambahkan saat ini sudah ada 16 peserta yang siap untuk memberikan fitur tersebut untuk layanan QRIS.
Fili menyebut BI telah melakukan piloting untuk fitur tersebut sejak 2021.
Lebih lanjut, Fili menjelaskan ada beberapa manfaat yang diharapkan dari penambahan fitur ini untuk meningkatkan kualitas layanan sistem pembayaran digital.
Pertama, ini bisa digunakan untuk optimalisasi sumber dana yang dipakai dari yang selama ini hanya simpanan menjadi bisa dari uang elektronik.
Kedua, diharapkan bisa meningkatkan interkoneksi karena nanti bisa dilakukan antar bank, antar non bank maupun bank ke non bank.
“Terakhir, untuk inklusi karena tarik tunai bisa digunakan di wilayah terdepan, terluar dan terpencil. Jadi kalau tidak ada atm maupun bank tidak masalah, sepanjang ada merchant QRIS,” ujarnya.
Sebagai informasi, penambahan jumlah pengguna dan merchant QRIS sampai Mei 2023 telah mencapai masing-masing 35,80 juta dan 26,1 juta. Sementara, total volume transaksi sebesar 744 juta.
Baca juga: Batas Pelaporan SPT Masa PPN Diperpanjang hingga 3 Juli 2023, Simak Rinciannya
Dengan semakin praktisnya penggunaan teknologi ini, diperkirakan penggunaan kartu anjungan tunai mandiri (ATM) pun lambat laun akan ditinggalkan.
Paling Cepat di Dunia
Kekuatan QRIS ini memampukan Indonesia untuk menjadi salah satu negara yang melaksanakan digitalisasi paling cepat di dunia.
Pandemi Covid-19 telah mendorong pergeseran hebat dalam perilaku konsumen sehingga memicu kebiasaan belanja dalam jaringan (daring) dan pembayaran berbasis digital secara masif di Indonesia. Kondisi tersebut menciptakan lingkungan yang cocok untuk berjamurnya unicorn lokal berbasis teknologi di Indonesia.
Pada Januari 2020, tepat sebelum virus Corona melumpuhkan hampir semua sendi kehidupan di dunia, Bank Indonesia mewajibkan seluruh perusahaan jasa pembayaran untuk menyesuaikan sistem Quick Response (QR) mereka dengan standar tunggal bernama QRIS.
QRIS memungkinkan interoperabilitas di antara bank-bank dan penyedia layanan e-wallet (dompet elektronik), menekan biaya transaksi dan meningkatkan efisiensi bagi para pelaku usaha.
Sebelumnya, pemilik usaha harus membayar biaya yang mahal untuk menyediakan lebih dari satu QR Code, atau bahkan perangkat Electric Data Capture (EDC) untuk pembayaran dengan kartu debit atau kredit.
Berkat rendahnya biaya merchant (merchant fees) melalui QRIS, saat ini jumlah usaha yang menggunakan sistem tersebut mencapai 22,4 juta, lebih dari tiga kali lipat jumlah usaha yang menggunakan QR di Thailand. Hal ini menjadikan Indonesia di posisi teratas di Asia Tenggara dalam hal pembayaran digital berbasis QR.
QR lintas negara
Kisah sukses Indonesia membuat negara-negara ASEAN lainnya tertarik untuk mempelajari dan mengadopsi sistem yang sama. Sejak QRIS diluncurkan, nilai transaksi berbasis QR di Indonesia bertumbuh tiga kali lipat setiap tahunnya.
Pada 2022, nilai transaksi QRIS mencapai Rp 98,5 triliun, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar Rp 27,7 triliun, dan Rp 8,2 triliun pada 2020. Menariknya, pertumbuhan yang amat pesat ini terjadi bahkan di tengah kondisi geografis Indonesia yang sangat menantang dengan belasan ribu pulau.
Pada November 2022, Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand menandatangani perjanjian untuk bersama-sama mendorong konektivitas sistem pembayaran di kawasan Asia Tenggara melalui penggunaan QRIS. Saat ini, QRIS dapat digunakan di Thailand, sedangkan Malaysia masih dalam tahap uji coba dan Singapura dalam tahap pengembangan atau inisiasi.
Dengan adanya QR code yang terstandarisasi dan dapat beroperasi di mana saja di ASEAN, jumlah transaksi akan lebih melonjak lagi karena memudahkan para pelancong di kawasan Asia Tenggara.
Baik konsumen maupun pemilik usaha mendapat manfaat dari terobosan tersebut, dan tentunya, menjadi landasan yang kuat untuk tercapainya Masyarakat Ekonomi Asean atau ASEAN Economic Community (AEC) pada 2025.
Penggunaan mata uang lokal
Selain karena teknologi yang mendukung, QR lintas negara dapat terjadi karena adanya kesepakatan tentang layanan mata uang lokal untuk perdagangan atau local currency settlement (LCS) di antara negara anggota ASEAN dalam beberapa tahun belakangan ini.
Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand telah bersepakat untuk mengadakan bilateral swap, yaitu transaksi mata uang lokal antara dua negara secara langsung tanpa harus menggunakan mata uang lain, misalnya dolar Amerika Serikat (AS), sebagai patokan nilai tukar. Dengan adanya kesepakatan tersebut, keempat negara dapat mengurangi volatilitas nilai tukar dan risiko merembetnya pelemahan kurs.
Menurut data Bank Indonesia, transaksi LCS melonjak menjadi sebesar USD 2,5 miliar pada 2021 dari USD 797 juta pada 2020. Tahun lalu, LCS berkontribusi sekitar 4 persen dari total nilai perdagangan Indonesia dengan Malaysia dan 3 persen dengan Thailand.
Pada pertemuan ASEAN Finance Ministers and Central Banks’ Governors Meeting (AFMGM) akhir Maret silam, para otoritas keuangan di kawasan Asia Tenggara setuju untuk menerapkan skema Local Currency Transactions (LCT) dalam rangka mengurangi ketergantungan ASEAN terhadap berbagai mata uang utama di dunia, terutama dolar AS.
Digitalisasi yang bertumbuh pesat di ASEAN, kisah sukses Indonesia dalam menerapkan QRIS, serta kondisi volatilitas di berbagai mata uang utama, menunjukkan bahwa sebenarnya aspirasi kawasan bisa tercapai.
Sebagai gambaran pesatnya laju ekonomi ASEAN, Asian Development Bank (ADB) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi kawasan mencapai 4,7 persen tahun ini, jauh lebih tinggi jika dibandingkan pertumbuhan di negara-negara maju yang hanya mencapai 0,4 persen. Ini menunjukkan bahwa siapapun tidak bisa sendiri saja menghadapi liku-liku perbedaan aturan, norma, dan budaya di antara negara-negara ASEAN. (Kontan/Tribunnews.com)