Laporan Wartawan Tribunnews, Hasiolan Eko Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia meminta PT Freeport Indonesia (PTFI) membangun smelter di Papua.
Hal itu menjadi satu di antara syarat perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dalam pengelolaan tambang emas dan tembaga di Grasberg, Papua.
Baca juga: Selain Freeport, Empat Perusahaan Tambang Ini Juga Dapat Relaksasi Ekspor Konsentrat
Langkah Menteri Bahlil mengajukan syarat tersebut kepada PTFI demi kesejahteraan masyarakat di Papua tersebut dinilai Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi sebagai syarat mutlak.
“Kalau memang harus diperpanjang yang jadi syarat mutlak, saya kira ya smelter itu karena selama ini smelter yang di Gresik saja belum jadi masih sekitar 70 persen,” ujar Fahmy dalam keterangannya kepada wartawan Sabtu (8/7/2023).
“Jadi kalau memenuhi syarat perpanjangan kontrak dengan membangun smelter yang memadai baik di Gresik maupun di Papua saya kira itu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Freeport,” imbuhnya.
Sebagai informasi saat ini, pembangunan smelter Freeport di Gresik, Jawa Timur baru mencapai 72 persen dengan menargetkan paling lambat rambung Mei 2024.
Fahmy menuturkan idealnya bahwa pembangunan smelter itu di Papua sebagaimana lokasi tambang yang dikelola oleh Freeport.
Baca juga: Smelter Freeport Harus Dibangun di Papua, Bahlil: Ini Harga Diri Orang Papua, Jangan Ditipu Terus
“Secara ideal memang harus seperti itu tetapi kenapa Freeport tidak membangun di Papua, malah membangun di Gresik itu menyangkut masalah ketersediaan infrastruktur. Jadi kalau dibangun di Gresik itu memang di kawasan industri dan infrastrukturnya sudah memadai,” ucapnya.
Oleh sebab itu, Fahmy mendorong agar Menteri Bahlil yang juga tokoh berasal dari Papua dapat membangun infrastruktur dasar dalam mendukung pembangunan smelter di bumi cendrawasih tersebut.
“Tapi kalau di Papua barangkali itu belum memadai (infrastruktur) sehingga perhitungannya akan lebih mahal tapi kalau itu memang dibutuhkan ya harus ada juga,” ujarnya.
Lanjut Fahmy mengatakan smelter Freeport di Papua harus hadir agar hilirisasi bahan mentah terjadi di Indonesia bukan langsung di ekspor ke luar negeri.
“Yang penting adalah smelter tadi itu memadai sehingga Freeport tidak lagi mengekspor konsentrat untuk dihilirkan di smelter luar negeri,” katanya.
Selain itu, Fahmy juga menyarankan syarat perpanjangan kontrak Freeport yakni penambahan profitability indeks (PI) dari 10 persen untuk Papua bisa ditambahkan menjadi 20 persen, tujuannya agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua secara signifikan.