Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rusia telah mundur dari kesepakatan ekspor Laut Hitam dan menyebabkan jutaan ton gandum dan biji-bijian produksi Ukraina tak dapat didistribusikan ke sejumlah negara.
Hal itu mengakibatkan harga pangan seperti komoditas gandum dunia melonjak tiga persen hingga harganya melesat ke level tertinggi yakni 689,25 sen per gantang pada Selasa (18/7/2033) kemarin.
Menanggapi hal tersebut, Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Franciscus Welirang mengatakan, hingga saat ini, ia memilih untuk memantau lebih lanjut dampak apa yang akan ditimbulkan dari keputusan Rusia ini.
"Sampai saat ini industri terigu nasional tidak ada yang panik (dalam menanggapi hengkangnya Rusia). Semua hanya wait and see. Bisnisnya jalan terus," kata Franky kepada Tribunnews, Kamis (20/7/2023) malam.
Menurut dia, dampak dari keputusan hengkangnya Rusia tak akan langsung terasa. "Apabila ada hal yang mengkhawatirkan, pasti kami tahu 2-3 bulan lagi," ujar Franky.
Ia kemudian mengatakan, dampak terparah dari kenaikan harga gandum pernah dirasakan pada Juli 2022 lalu. Kondisi kini berbeda dengan saat itu.
"Dampak terjelek sudah pernah kita alami saat Juli 2022. (Waktu itu harga gandum) mulai naik dari 2021. Saat itu karena gagal panen di Kanada dan Amerika, dilanjutkan dengan perang Ukraina dengan Rusia. Sekarang kan beda," kata Franky.
Diberitakan sebelumnya, ketahanan pangan dunia terancam mengalami krisis usai sejumlah komoditas seperti gandum, jagung, dan kedelai yang diperdagangkan di pasar global mengalami lonjakan harga pasca Rusia mundur dari kesepakatan ekspor laut hitam.
"Faktanya, perjanjian Laut Hitam tidak lagi berlaku hari ini. Rusia secara resmi memberi tahu pihak Turki dan Ukraina, serta Sekretariat PBB untuk tidak lagi memperpanjang kesepakatan itu," tegas juru bicara Kremlin Dmitry Peskov dikutip dari Reuters.
Baca juga: Pasar Global Terancam Alami Kiamat Pangan Buntut Hengkangnya Rusia dari Perjanjian Ekspor Gandum
Dalam keterangan resminya Peskov tak menjelaskan alasan negaranya hengkang dari perjanjian ekspor pangan tersebut, namun melansir dari Reuters keluarnya Rusia dari perjanjian ekspor biji-bijian Ukraina lewat Laut Hitam sengaja dilakukan untuk memukul perekonomian negara – negara sekutu di Eropa.
Kesepakatan ekspor ini awalnya dibentuk PBB agar Rusia mencabut blokade pada kapal – kapal pangan milik Ukraina di laut hitam, sehingga jutaan ton gandum dan biji-bijian produksi Kiev dapat kembali didistribusikan ke sejumlah negara termasuk Libanon dan Turki dan keberlangsungan koridor pangan dunia bisa terjamin.
Namun secara mengejutkan pada awal pekan kemarin Rusia mengumumkan bahwa pihaknya tak akan lagi memperpanjang perjanjian tersebut.
Baca juga: Bersiap Hadapi Krisis Pangan Akibat El Nino hingga Hengkangnya Rusia dari Kesepakatan Ekspor Gandum
Alasan ini kemudian memicu kekhawatiran para eksportir global akan adanya krisis pangan hingga sejumlah biji -bijian melonjak tajam, mengingat Ukraina sendiri merupakan salah satu pengekspor gandum dan biji – bijian terbesar di dunia dengan total ekspor mencapai 32 juta metrik ton.
"Hilangnya Kesepakatan Laut Hitam merupakan pukulan bagi negara-negara yang mencari gandum Ukraina yang lebih murah," kata Simon J. Evenett, seorang spesialis dalam perdagangan global dari University of St. Gallen.
Imbas dari bengkaknya Rusia dari perjanjian ekspor gandum, pasar global kini dilanda lonjakan harga pangan diantaranya seperti komoditas gandum dunia yang melonjak tiga persen hingga harganya melesat ke level tertinggi yakni 689,25 sen per gantang pada Selasa (18/7/2033).
Baca juga: Rusia Bombardir Pelabuhan di Odesa Ukraina, 60.000 Ton Gandum Siap Ekspor Hancur
Kenaikan serupa juga terjadi pada komoditas jagung di pasar berjangka yang kini dilaporkan melonjak menjadi 526,5 sen per gantang, sementara kedelai berjangka dibanderol dengan harga yang jauh lebih mahal yakni berada di kisaran harga 1.388,75 sen per gantang.
Harga tersebut diprediksi akan kembali melesat ke puncak tertingginya, mengingat saat ini ketahanan pangan global tengah mengalami tekanan akibat malapetaka yang disebabkan El Nino atau fenomena pemanasan permukaan laut di atas rata-rata.
"Belum diketahui kapan Rusia akan berubah pikiran, namun berakhirnya kesepakatan biji-bijian akan menambah tekanan kenaikan lainnya pada harga pangan yang saat ini tengah menghadapi kekeringan akibat efek El Nino," kata Peter Ceretti dari Eurasia Group.