Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bangkrutnya raksasa properti asal China, Evergrande Group, dinilai akan berdampak pada sektor properti di Indonesia.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Realestat Indonesia (REI) periode 2023-2027, Joko Suranto mengatakan, akan ada dampak, tetapi tidak berlangsung lama.
"Ya kalau pengaruh atau dampaknya pasti akan ada, walaupun itu juga akan pendek ya," kata Joko kepada Tribunnews, Sabtu (19/8/2023).
Baca juga: Raksasa properti China Evergrande mengajukan perlindungan kebangkrutan di Amerika
Menurut dia, pengaruh pertama yang akan terasa adalah pada bursa saham, di mana akan mendorong adanya sentimen negatif khususnya untuk saham sektor properti. Lalu, akan berdampak pada bursa secara keseluruhan.
Kedua, pada sektor properti, calon konsumen yang sadar akan kebangkrutan Evergrande Group dinilai akan mendapat tekanan.
"Konsumen yang ngeh dan sebagainya akan lebih hati-hati memilih propertinya, memilih developer-nya," ujar Joko.
"Para investor juga pasti akan lebih menahan diri, menahan dahulu, sehingga itu semua kan memberikan tekanan. Bahasanya adalah akan ada relatif perlambatan," lanjutnya.
Ketiga, Joko mengatakan perbankan juga akan kembali melakukan pemetaan risiko-risiko kreditnya.
"Itu pastinya juga akan sedikit mengambil waktu dan minimumnya akan ada terjadi perlambatan pemberian kredit," katanya,
Meski demikian, Joko kembali menegaskan bahwa dampak dari bangkrutnya Evergrande Group tak akan berlangsung lama.
Hal itu dikarenakan Indonesia memiliki sturuktur yang berbeda dari sisi perilaku konsumen, sisi pembiayaan, maupun dari sisi kewajiban utang yang tidak sebesar itu.
Sebagai informasi, raksasa properti terbesar asal China, Evergrande Group resmi mengumumkan kebangkrutan di pengadilan New York Amerika Serikat pada Jumat (18/8/2023).
Kebangkrutan tersebut diungkap Evergrande usai perusahaan mengajukan kode perlindungan kebangkrutan Bab 15 yang memungkinkan pengadilan Amerika Serikat untuk turun tangan membantu Evergrande menjalani restrukturisasi dari para kreditur.
"Perusahaan telah mengajukan kode perlindungan kebangkrutan Bab 15 dan penjadwalan sidang pengakuan kebangkrutan kemungkinan akan dilaksanakan pada 20 September,” jelas sumber tersebut menolak disebutkan namanya.
Meski kebangkrutan di sektor properti bukan kali pertama yang dialami China, namun pengumuman Evergrande yang bangkrut menjadi lambang krisis utang luar biasa di sektor properti negara tirai bambu, ini karena Evergrande menyumbang sekitar 30 persen dari ekonomi negara.
Tak hanya itu, kebangkrutan Evergrande juga memiliki dampak negatif bagi sektor perekonomian di tengah lesunya konsumsi domestik dan aktivitas ekspor.
Penyebab Bangkrutnya Evergrande
Mengutip dari Al Jazeera, kebangkrutan Evergrande telah terendus sejak akhir tahun 2021 silam. Tepatnya usai Evergrande gagal membayarkan tagihan utang sebesar 330 miliar dolar AS lantaran mengalami krisis likuiditas.
Keputusan Pemerintah China untuk menerapkan kebijakan "Tiga Garis Merah" untuk mengekang utang dan memaksa sektor real estate untuk menawarkan diskon properti bagi warga China perlahan membuat Evergrande kesulitan membayarkan bunga pinjaman.
Kondisi tersebut kian diperparah karena perusahaan terus melakukan tata kelola yang buruk seperti menangguhkan pembangunan gedung apartemen baru dan menunda pembayaran vendor atau supplier.
Baca juga: China Evergrande Ajukan Perlindungan Kebangkrutan Bab 15 di Pengadilan AS
Hal itu membuat para investor murka, hingga Evergrande dilanda krisis modal imbas kehilangan dana pemegang saham senilai 81 miliar dolar AS pada 2021 dan 2022. Akibat masalah ini Evergrande juga gagal membayarkan enam obligasi yang jatuh tempo tahun depan 2022 dan 10 obligasi jatuh tempo pada 2023.
Pada November 2022, dokumen resmi menunjukkan Evergrande menjual tanah yang dialokasikan untuk kantor pusatnya di pusat teknologi Shenzhen seharga 1 miliar dolar AS.
Kemudian pada awal tahun 2023, perseroan asal China itu meluncurkan rencana restrukturisasi utang yang telah lama ditunggu-tunggu. Tetapi upaya itu belum cukup untuk melunasi utang Evergrande pada kreditur, pemasok, dan investor yang totalnya mencapai 300 miliar dolar AS.