Laporan Wartawan Tribunnews, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah didesak segera menghentikan program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
"Pada prinsipnya, setiap pengeluaran negara baik berbentuk pengeluaran langsung maupun melalui skema subsidi harus dengan penetapan dalam Undang-Undang ABPN. Pemberian subsidi tanpa dasar hukum adalah keputusan yang tidak sah," ujar Pakar Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar ditulis Jumat (1/9/2023).
Menurut Abdul Fickar, pemberian subsidi yang tidak memiliki dasar hukum anggaran dalam APBN bukan saja merupakan hal yang tidak wajar, namun juga bisa dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Sebab, kebijakan pemberian subsidi tersebut telah melawan hukum dan merugikan negara.
"Pemerintah harus menghentikan program HGBT. Kebijakan ini jelas merupakan penghamburan uang negara dan dan secara kasat mata bisa dikualifikasikan sebagai korupsi. Harus diselidiki siapa di balik kebijakan ini dan siapa paling diuntungkan," ujar Abdul Fickar.
Sejak digulirkan pada 20 April 2020 lalu, program subsidi gas murah dengan mematok harga gas bumi sebesar US$ 6 per MMBTU untuk tujuh sektor industri ini telah membuat pemerintah kehilangan penerimaan negara sebesar Rp 29,4 triliun.
Sesuai ketentuan dalam kebijakan HGBT, pemerintah wajib menanggung biaya selisih harga dengan mengurangi jatah keuntungan penjualan gas negara, sehingga tidak membebani jatah atau keuntungan kontraktor
Meski berbentuk subsidi, pemerintah tak pernah mengalokasikan anggaran belanja subsidi untuk membiayai program HGBT.
Baca juga: Dana Bagi Hasil ke Daerah Berpotensi Berkurang Imbas Kebijakan Subsidi Gas Murah
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2023, misalnya, pemerintah mengalokasikan belanja subsidi energi sebesar Rp 212 triliun. Anggaran tersebut hanya untuk subsidi jenis BBM tertentu dan subsidi LPG tabung 3 kg.
Begitu pula dalam Rancangan Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2024 yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam Sidang Paripurna DPR RI pada 15 Agustus 2023 lalu.
Dalam RAPBN Tahun Anggaran 2024 tersebut, pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi energi sebesar 185,9 triliun yang hanya terdiri dari subsidi jenis BBM tertentu dan LPG tabung 3 kg.
Baca juga: Pemerintah Diminta Tak Bertumpu Pada Harga Gas Murah Saja untuk Genjot Daya Saing Industri
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menjadi dasar hukum kebijakan HGBT memang memberikan ruang bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan harga gas bumi untuk keperluan rumah tangga dan pelanggan kecil serta pemakaian tertentu lainnya.
Namun demikian, Abdul mengatakan, anggaran subsidi harus tetap memiliki dasar pengeluarannya. Karena itu, setiap tahun ada UU APBN yang menjadi dasar anggaran belanja negara, termasuk subsidi.
Kebijakan subsidi gas murah akan membuat penerimaan negara terus tergerus. Dalam RAPBN Tahun 2024, pemerintah memproyeksikan, pendapatan gas bumi dalam pos Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di akhir 2023 hanya sebesar Rp 27,25 triliun. Jumlah tersebut jauh di bawah realisasi pendapatan gas bumi di 2022 sebesar Rp 36,71 triliun.
Baca juga: Harga Gas Industri Berpotensi Naik pada Oktober 2023, Berikut Faktor Penyebabnya
Abdul Fickar menegaskan, selain tak memiliki dasar hukum anggaran, implementasi kebijakan HGBT telah berdampak negatif terhadap keuangan negara. Itu sebabnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) harus bergerak cepat.
Tugas kedua lembaga tersebut adalah mencegah kerugian negara dan menyelamatkan keuangan negara.
"Mestinya BPK memperhatikan hal ini. Kerugian dari implementasi HGBT tidak seharusnya ditanggung negara. Harus diselidiki apakah kebeperpihakan ini ada udang di balik batu. Pejabat publik pengambil keputusan wajib dicurigai," tandas Abdul.
Berdasarkan evaluasi Kementerian Keuangan, penerimaan pajak pada tujuh industri penerima harga gas bumi tertentu pada 2020 hingga 2022 memang cenderung meningkat. Namun,peningkatan tersebut bukan hanya dipengaruhi oleh program HGBT, tetapi juga karena volatilitas harga komoditas.
Dari aspek peningkatan lapangan kerja, program HGBT justru gagal. Pasalnya, penyerapan tenaga kerja pada tujuh industri penerima harga gas bumi tertentu selama 2020-2022 justru menurun.
Pada tahun 2020, penyerapan tenaga kerja tercatat sebesar 127.000 orang. Pada 2021 dan 2022, jumlah tenaga kerja yang terserap turun masing-masing menjadi 121.500 orang dan 109.200 orang.