Laporan Wartawan Tribunnews, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Cita-cita negeri pertiwi menjadi pemain utama ekonomi digital di ASEAN bahkan global dibendung para pengampu kebijakan.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah menyoroti kebijakan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 50/2020 yang melarang aktivitas transaksi social commerce seperti Tiktok Shop.
Platform social commerce asal Tiongkok yang menjual barang murah crossborder menjadi ihwal munculnya persaingan dagang yang tidak sehat.
Baca juga: Dukung Larangan Tiktok, Pedagang Sampaikan Aspirasi Minta Pendampingan Bisnis Digital dan Offline
Pelaku UMKM atau pedagang pasar menjadi kalah saing hingga sulit munutup biaya modal, belum lagi kebutuhan sewa.
Piter mendukung kebijakan pemerintah dalam hal memberikan ketertiban dunia usaha.
“Saya mendukung kebijakan pemerintah membatasi ruang gerak atau bahkan melarang social commerce,” ucap Piter kepada Tribun, Selasa (26/9/2023).
Namun, Dosen Perbanas Institute ini tidak sepemikiran tujuan dari beleid larangan melakukan perniagaan atau transaksi jual beli barang.
Nantinya media sosial hanya diperbolehkan melakukan promosi barang atau jasa, seperti iklan di televisi.
“Mungkin yang membedakan saya dengan pemerintah adalah tujuan pembatasan tersebut,” kata Piter.
Piter menegaskan pedagang tekstil yang disebut menjadi korban dari munculnya aktivitas perdagangan social commerce tidak sepenuhnya benar.
“Sepinya pusat pembelanjaan seperti Tanah Abang disebabkan oleh perubahan lifestyle yang sekarang ini lebih bersifat digital,” ucap dia.
“Masyarakat mulai menikmati berbelanja secara online jadi tidak hanya disebabkan oleh Tiktok Shop tetapi juga oleh bentuk-bentuk belanja online lainnya,” imbuh Piter.
Ketertarikan masyarakat berbelanja secara online antara lain karena lebih mudah, tidak repot, dan juga banyak yang dianggap jauh lebih murah.