HPL itu diterbitkan untuk perusahaan swasta, lalu berpindah tangan ke PT Makmur Elok Graha.
Hak guna usaha yang telah diterbitkan tersebut, ditegaskan Hanifa, tidak digunakan atau lahan yang telah ditetapkan itu tidak dikelola oleh yang bersangkutan.
"Oleh karena itu, pada 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati," kata dia.
“Apakah setelah sekian lama tidak dikelola oleh PT MEG, lahan yang jadi sengketa saat ini masih punya alas hukum yang kuat untuk diteruskan?” sambungnya.
Temuan berikutnya, Hanifa menuturkan pihaknya menemukan masih terus adanya intimidasi oleh oknum APH dan pihak-pihak tidak bertanggung jawab.
Dilakukannya intimidasi untuk meminta masyarakat terdampak relokasi di Pulau Rempang segera menyetujui rencana relokasi ke tempat baru yang nyatanya hingga saat ini belum tersedia.
Temuan terakhir, pihaknya bertanya-tanya terhadap pernyataan Kepala BP Batam soal setoran uang wajib tahunan (UWT) yang nyatanya konsesi sudah diserahkan kepada pihak swasta yakni PT MEG.
“Hitungan UWT dimaksud apakah Rp7.000 dikalikan 17.600 hektare baru menjadi Rp1,2 triliun atau 7000an hektare dikalikan tarif UWT Rp 21.428/m2 menjadi Rp1,5 triliun?” kata Hanifa.
"Jika MEG dapat pengalokasian awal sejak 2001 seluas 16.583 hektare, maka UWT yang harus dibayar adalah Rp3,6 triliun (tarif Rp 21.750/m2), jadi sisa kewajiban UWT bagaimana ceritanya?” tandasnya.
Laporan reporter Ramadhan LQ | Sumber: Warta Kota