News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Gap Harga Pertalite-Pertamax Terlalu Jauh, Dikhawatirkan Masyarakat Bermigrasi Konsumsi BBM Subsidi

Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Petugas mengisikan BBM jenis Pertalite di SPBU Jalan Bandung, Kota Malang, Jawa Timur, usai Pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM)

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengkhawatirkan bakal terjadinya migrasi konsumen pengguna bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi menjadi konsumen BBM subsidi.

Hal ini dikarenakan terjadinya gap harga yang cukup jauh antara BBM nonsubsidi seperti Pertamax dan BBM subsidi seperti Pertalite.

Diketahui, PT Pertamina telah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi yang berlaku per 1 Oktober 2023.

Baca juga: Daftar Harga BBM Terbaru 1 Oktober 2023: Pertamax Naik, Pertalite dan Solar Tetap

Untuk wilayah DKI Jakarta maupun Pulau Jawa, harga Pertamax 92 naik dari Rp13.300 per liter menjadi Rp14.000 per liter. Sementara BBM subsidi seperti Pertalite tak mengalami peningkatan yakni masih di angka Rp10.000 per liter.

"Kenaikkan harga tersebut memperbesar disparitas harga BBM non-subsidi dengan harga BBM subsidi. Disparitas harga itu akan memicu gelombang migrasi kosumen Pertamax ke Pertalite," ucap Fahmy dalam pernyataannya kepada Tribunnews, Minggu (8/10/2023).

Bukan tanpa alasan, lanjut Fahmy, migrasi tersebut berpotensi menjebolkan quota Pertalite, yang akan memperberat beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam pemberian subsidi BBM.

Untuk mencegah migrasi dari Pertamax ke Pertalite, Fahmy merekomendasikan Pemerintah bisa menaikkan harga Pertalite untuk memperkecil disparitas antara harga Pertamax dengan harga Pertalite.

"Dengan disparitas harga yang tidak menganga, kosumen Pertamax akan berfikir ulang untuk migrasi ke Pertalite," papar Fahmy.

Ia mengakui, kenaikkan harga BBM Subsidi akan memicu kenaikkan inflasi yang menurunkan daya beli masyarakat.

Baca juga: Pengusaha Pertashop Minta Peluang Pasarkan BBM Pertalite

Jika Pemerintah emggan menaikkan BBM subsidi maka alternatifnya, Pemerintah harus melakukkan pembatasan penggunaan BBM subsidi dengan mekanisme yang bisa diterapkan (applicable).

Mekanisme pembatasan itu dengan menetapkan dalam Peraturan Presiden bahwa konsumen BBM Subsidi adalah kosumen pemilik Sepeda Motor dan Kendaraan Angkutan penumpang dan barang.

Seperti diberitakan sebelumnya, Pertamin telah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi yang berlaku per 1 Oktober 2023.

Untuk wilayah DKI Jakarta maupun Pulau Jawa, harga Pertamax 92 naik dari Rp13.300 per liter menjadi Rp14.000 per liter.

Sementara, harga Pertamax Green 95 naik dari Rp15.000 per liter menjadi Rp16.000 per liter. Harga Pertamax Dex naik dari Rp16.900 per liter menjadi Rp17.900.

Penetapan harga BBM non-subsidi ditentukan berdasarkan mekanisme pasar. Variabel utama penetapan harga BBM non-subsidi adalah harga minyak dunia, yang membumbung tinggi hingga mencapai 95,31 dolar AS per barrel.

Kendati harga minyak dunia mendekati 100 dolar AS per barrel, Pemerintah bersikukuh tidak menaikkan harga BBM subsidi, Pertalite maupun Solar.

"Meroketnya harga BBM non-subsidi itu sesungguhnya tidak secara signifikan memicu kenaikan inflasi, yang menurunkan daya beli masyarakat," papar Fahmy.

"Alasannya, proporsi konsumen BBM non-subsidi relatif kecil, hanya sekitar 11,5 persen dari total pengguna BBM, yang umumnya konsumen kelas menengah ke atas," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini