TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami pelemahan tajam pada perdagangan Jumat (20/10/2023).
Tercatat, rupiah sore tadi tersungkur ke level Rp15.872 per dolar AS.
Jika dicermati lebih detail, nilai tukar mata uang Garuda melemah 57 poin. Di mana sebelumnya pada kemarin (19/10/2023), nilai tukar rupiah juga di level Rp15.815.
Sedangkan rupiah Jisdor Bank Indonesia (BI) ditutup pada level harga Rp 15.856 per dolar AS.
Baca juga: Rupiah Makin Terpuruk, Lewati Kurs Terendah Pada 9 April 2020
Ini membuat rupiah Jisdor terkoreksi 0,93 persen dalam sepekan dan secara harian mengalami koreksi sekitar 0,11%.
Pelemahan rupiah Jisdor BI sejalan dengan rupiah spot yang ditutup pada harga Rp 15.873 per dolar AS di Jumat ini (20/10). Dalam sepekan, rupiah spot telah melemah 1,21% dan melemah 0,36% secara harian di hadapan dolar AS.
"Sepanjang pekan, rupiah menjadi mata uang paling lemah di Asia dengan pelemahan 1,21% terhadap dolar AS, akibat sentimen Fed serta ketegangan geopolitik," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede.
Menurutnya, rupiah di akhir pekan ini masih bergerak melemah di tengah sentimen risk-on yang terjadi di pasar Asia.
Kawasan Asia cenderung positif menyusul pernyataan Jerome Powell Kamis malam (19/10), serta diikuti oleh keputusan PBOC untuk melakukan injeksi ke pasar sebagai upaya mendorong stimulus ekonomi.
Oleh karena itu, Josua menilai, pelemahan Rupiah kemungkinan disebabkan oleh tren kenaikan harga minyak global akibat ketegangan politik Timur Tengah yang meningkat.
Bakal Tembus Rp16.000
Pengamat Pasar Uang, Ariston Tjendra mengungkapkan, fluktuasi nilai tukar mata uang Garuda terdampak sentimen ekspektasi bahwa suku bunga Bank Sentral AS alias The Fed, yang kini masih berada di level tinggi dan belum akan segera berakhir.
Selain itu, konflik di Timur Tengah antara Israel-Palestina juga menjadi salah satu sentimen yang membuat indeks dolar menguat.
Dengan demikian upaya Bank Indonesia (BI) mengusung nilai rupiah dengan menaikkan suku bunga ternyata belum berhasil.
"Karena sentimen penekan rupiah terhadap dolar AS seperti konflik Israel-Hamas dan kebijakan suku bunga tinggi AS masih ada, potensi pelemahan rupiah masih terbuka," ungkap Ariston kepada Tribunnews.