Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi I DPR RI mendukung optimalisasi integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang merupakan program Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak.
Meski begitu, integrasi tersebut harus dibarengi dengan penguatan keamanan data pribadi.
"Melalui koordinasi yang efektif, kita dapat memastikan bahwa integrasi NPWP dan NIK dilakukan dengan cara yang berkelanjutan dan Pemerintah dapat memastikan keamanan data pribadi masyarakat," kata anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai Golkar Nurul Arifin kepada wartawan, Selasa (31/10/2023).
Ke depan, seluruh transaksi perpajakan hanya menggunakan NIK mulai 1 Januari 2024.
Hal ini bukan berarti seluruh orang yang memiliki KTP akan dikenakan pajak, tetapi pajak hanya akan dikenakan pada mereka yang sudah memiliki pendapatan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak, perkembangan integrasi NIK-NPWP sudah terpadankan sebanyak 82 persen.
Percepatan jumlah tersebut diharapkan rampung pada Januari 2024 sebagai langkah menggunakan satu nomor identitas tunggal untuk memenuhi berbagai urusan, termasuk perpajakan.
Peraturan tersebut itu tertuang dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang diharapkan mempermudah proses administrasi perpajakan.
Dengan aturan itu, nantinya hanya wajib pajak dengan penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang wajib membayar pajak, yakni Rp 54 juta/tahun atau di atas Rp 4,5 juta/bulan.
Dia mengapresiasi kemajuan integrasi data yang dilakukan Pemerintah. Namun ia mengingatkan perlunya sistem pengawasan yang ketat agar tidak terjadi kebocoran data pribadi dalam program integrasi satu nomor identitas tunggal.
Baca juga: BSSN: Masyarakat Desa Belum Melek Perlindungan Data Pribadi
"Peristiwa kebocoran data pribadi masih menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah, sehingga diperlukan penanganan khusus terkait hal itu. Jangan sampai dengan integrasi ini, malah merugikan masyarakat karena seluruh data pribadi menjadi satu akses," ujar Nurul.
Berdasarkan catatan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), sebanyak 311 kasus kebocoran data terjadi di Indonesia pada 2022. Jumlah itu meliputi 283 insiden dugaan kebocoran data dan 28 laporan notifikasi proaktif darkweb.